Mohon tunggu...
Excel Anderson Widjaja
Excel Anderson Widjaja Mohon Tunggu... Siswa SMA Kolese Kanisius

Saya adalah siswa SMA yang berminat dalam bidang biologi, khususnya bioteknologi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Masa Depan Cerah Tanpa Beban Genetik: Menyambut Gene Editing di Indonesia

7 Mei 2025   07:28 Diperbarui: 7 Mei 2025   07:28 2205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Illustrasi Gene Editing (Sumber: MolecularDevices)

Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, menghadapi tantangan besar dalam bidang kesehatan, khususnya terkait penyakit herediter. Penyakit genetik seperti thalasemia, defisiensi enzim G6PD, Down sindrom, dan neural tube defect (NTD) masih menjadi beban yang menghantui jutaan keluarga di seluruh nusantara. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 11.000 pasien thalasemia tercatat di Indonesia, dengan penambahan kasus baru sekitar 2.500 setiap tahunnya, terutama di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Di sisi lain, defisiensi G6PD yang menyebabkan anemia hemolitik (kondisi di mana sel darah merah dihancurkan lebih cepat dari seharusnya) ditemukan pada 5,2% bayi di Jakarta, dengan persentase lebih tinggi pada bayi laki-laki. Kondisi-kondisi ini menimbulkan beban sosial dan ekonomi yang fatal, sekaligus menuntut solusi inovatif yang mampu mengubah nasib kehidupan kita semua.

Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan teknologi genome editing, khususnya metode CRISPR-Cas9, telah membuka halaman baru dalam dunia kedokteran dan bioteknologi. Genome editing memungkinkan modifikasi DNA secara akurat pada lokasi tertentu, sehingga mutasi genetik penyebab penyakit dapat dimusnahkan langsung di tingkat molekuler. Teknologi ini berbeda dengan rekayasa genetika tradisional karena tidak selalu melibatkan penyisipan gen asing, melainkan pemotongan gen yang sudah ada dalam genom individu. Menurut The New England Journal of Medicine, uji klinis secara global yang dilakukan oleh CRISPR Therapeutics dan Vertex Pharmaceuticals, menunjukkan hasil memuaskan pada pasien thalasemia dan sickle cell disease, dimana pasien berhasil bebas dari ketergantungan transfusi darah setelah terapi berbasis CRISPR . 

Potensi genome editing dalam mengatasi penyakit herediter di Indonesia sangat besar. Thalasemia, yang merupakan salah satu penyakit genetik paling umum di tanah air, disebabkan oleh mutasi pada gen beta-globin (HBB). Dengan teknologi CRISPR, hematopoietik stem cell pasien dapat dimodifikasi untuk meningkatkan produksi hemoglobin fetal (HbF), yang mampu menggantikan fungsi hemoglobin abnormal. Terapi ini bukan hanya memberikan harapan kesembuhan, tetapi juga mengurangi biaya dan risiko komplikasi akibat transfusi darah seumur hidup. 

Selain itu, defisiensi G6PD yang prevalensinya cukup tinggi di Indonesia juga dapat menjadi target terapi genome editing, dengan perbaikan mutasi pada gen G6PD sehingga mencegah anemia hemolitik berat yang sering terjadi pada bayi baru lahir. Bahkan untuk kondisi kompleks seperti sindrom Down, penelitian awal menunjukkan bahwa teknologi CRISPR dapat menonaktifkan kromosom 21 ekstra dalam sel, membuka kemungkinan pengembangan terapi yang dapat memperbaiki gangguan kognitif yang dialami penderita.

Walaupun begitu, implementasi genome editing di Indonesia memiliki banyak tantangan. Infrastruktur laboratorium genetik yang memadai masih terbatas, dengan hanya beberapa pusat penelitian dan rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap untuk terapi genetik. Selain itu, menurut sebuah penelitian dari Universitas Padjajaran, regulasi terkait terapi genome editing di Indonesia masih belum jelas, sementara negara-negara maju telah mengembangkan pedoman etis dan hukum yang ketat untuk mengatur penggunaan teknologi ini. Biaya terapi genome editing yang saat ini masih sangat mahal juga menjadi hambatan utama, mengingat sebagian besar pasien thalasemia di Indonesia berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, institusi riset, dan perusahaan bioteknologi global untuk mengembangkan rencana pendanaan dan transfer teknologi yang terjangkau bagi masyarakat luas.

Selain aspek teknis dan regulasi, pertimbangan etis menjadi landasan utama dalam penerapan genome editing. Prinsip-prinsip bioetika seperti non-maleficence (tidak merugikan), beneficence (berbuat baik), dan keadilan harus dijunjung tinggi agar teknologi ini tidak disalahgunakan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pembatasan penggunaan genome editing pada sel germline untuk mencegah perubahan genetik yang diwariskan secara permanen tanpa kajian mendalam. Maka dari itu, di Indonesia diperlukan dialog antar sektor yang melibatkan tokoh agama, etika, ilmuwan, dan masyarakat perlu digalakkan untuk merumuskan pedoman yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sosial bangsa.

Jika kita ingin mewujudkan potensi genome editing, Indonesia perlu membangun pusat genom nasional yang mampu melakukan penelitian mutasi genetik spesifik populasi nusantara. Program edukasi publik juga sangat penting untuk meningkatkan literasi genetik dan mengurangi stigma terhadap penyakit herediter. Selain itu, regulasi progresif yang mengatur standar keamanan dan etika terapi gen harus segera disusun agar pengembangan teknologi ini berjalan secara aman dan bertanggung jawab. Kolaborasi internasional dengan negara-negara yang telah lebih maju dalam terapi genome editing juga dapat mempercepat transfer teknologi dan pengetahuan.

Pada 2019, pasien thalasemia di Jerman berhasil sembuh total melalui terapi CTX001 berbasis CRISPR, dengan kadar hemoglobin stabil pada angka normal setelah 9 bulan. Di Asia Tenggara, Thailand telah mengurangi insidensi thalasemia baru hingga 50% dalam satu dekade melalui program skrining genetik nasional yang terintegrasi dengan pendekatan terapi modern. Indonesia memiliki potensi untuk mengikuti jejak ini dengan memadukan teknologi genome editing dan program pencegahan berbasis genetika. Akhir kata, genome editing bukan sekadar kemajuan teknologi, melainkan sebuah revolusi medis yang mampu mengubah masa depan kesehatan Indonesia. Dengan lebih dari 11.000 pasien thalasemia dan ribuan kasus penyakit herediter lainnya, kita perlu bertindak sekarang. 

Mari jadikan genome editing sebagai mercusuar harapan untuk membangun dunia kesehatan, bukan alat untuk memilah manusia. Di tangan etis yang bijaksana, teknologi ini akan menjadi warisan terbaik dan terhebat dari kita untuk anak & cucu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun