Suatu sore  di beranda rumah yang menghadap jalan kampung, ayah duduk dengan tangan bertaut di atas tongkatnya. Usianya sudah lewat tujuh puluh, tapi ada yang tak pernah usang dari dirinya: caranya bercerita.
Sore itu, tanpa saya tanya, ayah berkata, "Kamu tahu, dulu waktu menjelang pensiun, Bapak sempat panik."
Saya menoleh, sedikit kaget. Selama ini, saya pikir ayah selalu tenang menghadapi segala. Tapi ternyata, bahkan orang tua saya pun pernah goyah.
"Panik karena apa, Pak?" tanya saya.
"Bukan takut soal tua atau nggak kerja lagi, tapi takut kehilangan makna. Dulu hidup bapak ya kerja. Lalu kalau kerja diambil, apa lagi yang bisa diandalkan?"
Saya terdiam. Kalimat itu terasa menampar saya, yang sering mengeluh soal kerjaan padahal masih muda dan kuat.
Usaha Kecil, Harapan Besar
Ayah bercerita, suatu hari ia membeli sepeda butut dari tetangga sebelah. Bukan karena ingin olahraga atau nostalgia. Tapi karena ingin mencoba usaha jelang pensiun.
"Bapak coba keliling kampung, nawarin barang-barang kecil. Ada yang titip jualan juga. Sekali jalan dapat lima ribu, kadang cuma senyum. Tapi rasanya... lega."
Saya membayangkan ayah saya, dengan sepeda tuanya, menyusuri jalanan kampung. Bukan demi uang semata, tapi untuk merasa berarti.
"Dari situ Bapak sadar, yang dicari orang tua itu bukan sibuknya, tapi rasa berguna."