Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari Makna

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Antara Medical Check Up dan Keragu-raguan

17 Maret 2023   00:45 Diperbarui: 18 Maret 2023   15:08 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Medical Check Up| Sumber: halodoc.com

Medical check up masih jauh dari harapan. Soalnya, orang lebih suka pada praktik perdukunan. Selain itu, faktor mindset dan biaya juga menjadi bahan pertimbangan mengapa orang semakin jauh dari medical check up.

Keluarga pasien kelihatan sibuk. Mengurus beberapa orang yang datang. Jenis orangnya bervariasi. Ada yang menjenguk pasien. Dan ada yang datang untuk merawat. Apakah sedang melakukan Medical Check Up? Bukan. Yang merawat bukan tenaga medis tetapi orang yang dianggap punya indra keenam.

Ada juga pengalaman unik lainnya. Warga yang sakit dari kampung tetangga dirawat di kampung lain. Untuk mendapatkan pelayanan medis? Tidak. Untuk mendapatkan perawatan dari dukun. Atau untuk bisa minum ramuan tradisional. 

Bagaimana dengan posisi medical checkup? Itu alternative terakhir. Setelah yang punya indra keenam angkat tangan dan pamit secara resmi dari keluarga pasien.

Medical checkup akan disentuh bila ramuan tradisional tidak mempan. Bahkan ada yang saling ribut karena katanya ramuan tradisional yang diminum sebelumnya itu tidak cocok. Maka dibuatlah ramuan baru. Namun apa daya. Sakit tidak pernah sembuh.

Pasien dan keluarga mulai kehabisan cara dan panik. Pasien mulai pasrah. Walaupun hati kecilnya menginginkan kesembuhan. Diajak ke fasilitas kesehatan terdekat? Jangan harap jawabannya setuju. Pasti ada saja alasan untuk menghindar.

Aku baik-baik saja. Kurang lebih itu jawaban yang dilontarkan dari mulutnya. Mau gunakan tekhnik apapun, rayuan kita tidak akan menggeser pendiriannya.

Keluarga juga pura-pura marah pasiennya. Katanya, pasien sudah diajak ke fasilitas kesehatan terdekat. Tetapi pasiennya tidak mau.

Itulah realita kehidupan yang saya temukan di kampung.

Pertanyaannya. Mengapa medical checkup dipandang sebagai alternative terakhir dari penyembuhan penyakit? Bukan menjadi solusi prioritas bagi masalah kesehatan?

1. Mindset

Kehidupan di kampung masih melekat dengan praktik perdukunan. Sakit apapun harus ditangani oleh dukun. Praktik ini masih sangat kuat.  Selain tidak mengeluarkan biaya banyak, keluarga pasienpun bisa bergantian menjaga pasien.

Memang kalau pilek dan batuk biasanya langsung ke faskes terdekat. Tetapi bagaimana bila batuknya sudah lebih dari 3 minggu? Akankah kembali ke faskes untuk konsultasi lanjutan? Sabar dulu. Putar haluan. Coba ke dukun saja. Atau minum obat tradisional. Alasannya? Sudah minum obat tetapi tidak sembuh. Maka timbul nosi tidak percaya pada faskes terdekat. Obatnya tidak mujarab dan lain sebagainya.

2. Biaya

Alasan ini memang paling banyak. Bagi yang punya kartu, biaya kesehatan sudah dibantu oleh pemerintah. Tetapi apakah kartu jaminan kesehatan ini membuat orang cepat mengantar pasien ke faskes terdekat? Sabar dulu.

Ada ketakutan biaya di luar bantuan pemerintah. Misalnya obat-obatan yang tidak ada di rumah sakit. Sejauh pengalaman, obat-obatan yang tidak ada di rumah sakit harus dibeli sendiri di apotik terdekat. Bayangkan bila jenis obat itu dibeli dengan harga mahal. Tambahan pula bila obat itu harus dibeli sendiri sebanyak tiga atau empat kali.

Ada alasan lain yang menjadi pertimbangan mengapa keluarga tidak langsung saja mengantar pasien ke faskes terdekat. Akomodasi keluarga pasien. Ini yang butuh biaya besar. Yang dibantu pemerintah hanya pasien loh. Bukan keluarga yang menjaganya di rumah sakit. Baik kalau fasilitas kesehatan dekat rumah. Pasien mungkin bisa jaga bergantian dan tidak perlu siapkan dana khusus untuk makan minum.

Siapa yang memberi makan keluarga pasien di rumah sakit? Dirinya sendiri. Itu berarti keluarga pasien mesti mempersiapkan dana yang cukup. Sayangnya, keluarga tidak bisa memprediksi berapa lama perawatan pasien di rumah sakit.

Jika saja perawatan hanya butuh dua hari, keluarga pasien masih mampu menangani kebutuhannya. Tetapi bagaimana kalau perawatannya sudah lebih dari seminggu. Ini yang mencemaskan.

Mari kita bermain dengan perhitungan. Misalkan saja harga obat yang dibeli di luar rumah sakit seharga Rp 150.000. Dibeli sendiri oleh keluarga pasien sebanyak tiga kali. Maka total seluruhnya Rp 450.000.

Biaya makan dan minum penjaga pasien. Sekali makan senilai Rp 25.000. Maka total biaya makan sehari Rp 75.000. Jika perawatan selama 6 hari maka totalnya Rp 450.000. Biaya tak terduga Rp 300.000. Maka total seluruhnya Rp 1.200.000. Perhitungan ini belum termasuk transportasi pulang ke rumah.

3. Ketakutan ada jenis penyakit

Ada fakta lain soal medical check up. Kebanyakan orang takut kalau saja hasil pemeriksaannya di luar dugaannya. Misalnya, harapannya hasil pemeriksaan hanya mendapat pengobatan dan rawat jalan. Ternyata dari hasil pemeriksaan mengatakan sebaliknya. Biasanya kalau hal ini yang terjadi, maka ada usaha untuk menolak rujuk. Atau mengulur waktu. Apa yang terjadi kembali ke praktik perdukunan dan perhitungan biaya tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun