Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari Makna

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menemukan Jalan Emas dalam Budaya Manggarai Menuju Penanggulangan Bencana Alam Indonesia

11 Agustus 2019   13:17 Diperbarui: 11 Agustus 2019   13:33 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kebaikan Allah sungguh nyata dalam pemberianNya melalui Sanda Lima (rumah, halaman, air minum, sumber makanan dan tempat menjalin relasi dengan Dia yang di atas sana). Tetapi ketika manusia melupakan Tuhan pada satu sisi, dan tidak mensyukuri pemberian Tuhan melalui Sanda Lima pada sisi yang lain maka bagi masyarakat Manggarai sesungguhnya tanda bencana sudah mulai datang.

 Kedua, Pemahaman Tentang Hambor[8]

Pemahaman tentang hambor dalam konteks Manggarai amat dekat dengan rekonsiliasi, baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan roh alam, manusia dengan wura agu ceki (nenek moyang), manusia pribadi dengan rohnya sendiri. Konsep rekonsiliasi/hambor dalam budaya Manggarai banyak modelnya. Model hambor tergantung dari sebab suatu kejadian dan tujuan dilakukannya upacara hambor. Beberapa model hambor adalah sebagai berikut:

  • Ngelong. Ngelong adalah suatu ritus untuk mencari penyebab sakit/bencana atau keadaan aneh yang dialami seseorang. Ritus ini dibuat apabila secara medis penyakit seseorang tidak terdeteksi atau tidak teratasi. Orang Manggarai biasanya meyakini bahwa penyebab sakit atau keadaan aneh pada seseorang karena telah menyengsarakan binatang dan menebang pohon pada suatu daerah tertentu yang dianggap sakral. Ritual Ngelong dilakukan di mata air, atau di tempat dimana binatang atau tetumbuhan itu disengsarakan. Ngelong bertujuan untuk berdamai dengan roh alam, pemilik binatang dan tetumbuhan yang disengsarakan. Ritus Ngelong dapat dilakukan jika sudah melalui proses teka latung (semacam doa/mantra yang diucapkan melalui biji jagung), nampo ruha (pengucapan mantra melalui telur ayam kampung), dan mimpi-mimpi, penglihatan paranormal untuk mengetahui sebab dari suatu bencana terjadi . Biasanya proses teka latung dan nampo ruha dilakukan oleh ata pecing, ata mata gerak (orang berilmu). Ngelong sendiri dipahami pada kenyataannya dibagi dalam dua model yaitu
  • Rudak (sakit seseorang disebabkan sesuatu binatang/tumbuh-tumbuhan)
  • Nangki (merasakan sesuatu yang aneh pada diri seseorang) 
  • Teing Hang. Orang Manggarai mengakui adanya roh yang membimbing manusia mulai dari kandungan, selama hidup dan sampai jiwa diambil dari badan manusia/kematian. Roh itu disebut Ase kae weki. Nama lain dari roh ini adalah dewa gong[9]. Roh yang membimbing seseorang harus diberi makan/Teing hang. Teing hang ada beberapa jenis, yakni: 
  •  Teing hang wura agu ceki (roh nenek moyang). Teing hang wura agu ceki biasanya dilakukan secara kolektif dalam upacara adat bersama warga lainnya, seperti saat acara penti (tahun baru), paki jarang bolong, acara congko lokap (syukuran pembuatan rumah adat baru), pada saat hendak pergi berperang dan sebagainya. Maksud acara ini dilakukan adalah agar roh nenek moyang selalu menuntun tingkah laku warga, melindung seluruh warga kampung dari bencana.
  •  Teing hang ata tua (roh orang tua yang sudah meninggal). Roh orang tua yang sudah meninggal diyakini selalu menjaga masing-masing keluarga. Karena itu, roh orang tua tersebut harus diberi sesajian sehingga tidak meninggalkan seseorang/keluarga yang masih hidup.
  •  Teing hang ase kae weki de ru (roh sendiri). Teing hang ase kae weki de ru/dewa gong melalui telur ayam kampung. Ritusnya dilakukan di dalam kamar tidur. Tujuan teing hang ase kae weki ini adalah agar seseorang terhindar dari penyebab kematian yang tidak diinginkan, menuntun orang untuk bertindak benar terhadap dirinya, sesama dan lingkungannya.
  •  Teing hang ase kae weki de wina rona (roh suami-istri). Acara ritual teing hang ase kae weki suami istri dilakukan di kamar tidur. Maksud dari ritual teing hang ase kae weki de wina rona (roh suami-istri) adalah agar tidak ada halangan dalam keluarga, rezeki melimpah dan relasi rumah tangga tidak retak. Bahan ritualnya juga menggunakan telur ayam kampung tetapi sebelumnya dilaksanakan acara teing hang ata tua, teing hang empo (nenek moyang). Menurut kepercayaan orang Manggarai keretakan dalam rumah tangga dan keadaan tidak sejahtera disebabkan oleh tidak berdamainya roh istri dan roh suami.
  •  Hambor's Balok. Hambor's Balok biasanya dilakukan pada saat pembuatan rumah baru dengan membuat sebuah acara perdamaian berupa ayam jantan dan telur kampung agar neka losis ngando agu rintuk taud haju (agar kayu-kayu di dalam rumah tidak bertengkar dan mereka berkelahi yang menyebabkan tuan rumah tidak tenang mendiami rumah tersebut).
  •  Oke dara ta'a. Oke dara ta'a merupakan acara rekonsiliasi yang diyakini bisa mendamaikan roh manusia, meminta perlindungan dan pembebasan dari Roh Tertinggi. Roh Tertinggi diharapkan menerima doa dan tidak membiarkan seseorang dari suatu keturunan/klan mengalami bencana yang sama. Acara hambor dengan roh pribadi bertujuan untuk meminta roh dalam diri setiap orang dalam satu keturunan tidak meninggalkan anggota suku sehingga menyebabkan bencana kematian beruntun, kematian dini dan mengalami kecelakaan.

Ritus-ritus yang berkenaan dengan hambor/perdamaian jika dilaksanakan dengan baik diyakini mendatangkan kesejahteraan hidup dan menolak bencana. Dalam ritual ngelong misalnya terkandung makna bahwa ketidakstabilan alam sebenarnya disebabkan oleh karena ulah manusia. Ketidakseimbangan menyebabkan penderitaan. Oleh karena ketidakseimbangan menyebabkan penderitaan atau bencana maka perlu ada rekonsiliasi.

Orang Manggarai yakin dan percaya bahwa ada roh yang membimbing manusia mulai dari kandungan, selama hidup dan sampai jiwa diambil dari badan manusia/kematian. Roh itu disebut Ase kae weki. Jika roh tidak diperhatikan maka mengakibatkan tindakan seseorang menjadi tidak benar, amoral, asusila dan sebagainya. Roh yang menuntun tingkah laku warga, melindung seluruh warga kampung dari bencana. Roh itu pulalah yang membuat seseorang dapat terhindar dari penyebab kematian yang tidak diinginkan, menuntun orang untuk bertindak benar terhadap dirinya, sesama dan lingkungannya. Roh yang membuat, rezeki melimpah dan relasi dalam rumah tangga tidak retak. Menurut kepercayaan orang Manggarai keretakan dalam rumah tangga dan keadaan tidak sejahtera disebabkan oleh tidak berdamainya roh istri dan roh suami. Roh yang ada dalam diri setiap orang mampu mengatasi bencana kematian beruntun, kematian dini dan mengalami kecelakaan. Dan agar cinta Tuhan senantiasa tetap diam di dalam diri manusia maka roh itu harus dirawat dan diwajibkan untuk melakukan rekonsiliasi bila sudah melakukan banyak kesalahan.

Orang Manggarai percaya bahwa ritus hambor adalah perintah adat. Perintah adat diyakini sebagai aturan Tuhan yang mampu membuat manusia tentram, sejahtera, dibebaskan dari segala bencana. Amanah itu termaktub dalam peribahasa: 'mangga lere manggar macing' yang artinya Tuhan telah memberikan semuanya kepada manusia, dan apa yang telah ditetapkan harus dijalankan dengan baik, tetapi apabila melakukan kesalahan agar segeralah melakukan perdamaian dengan Dia, sesama dan alam semesta seperti yang telah dilakukan nenek moyang sejak dahulu kala.

Ketiga, Budaya Oke Copel [10]

Budaya oke copel diterjemahkan sebagai budaya tolak bala/bencana. Oke copel ini sangat umum karena menyangkut semua hal yang bersifat negatif seperti kematian karena dibunuh, kematian karena tertindih pohon, kecelakaan dan sebagainya. Budaya oke copel selalu hidup dan tetap dipraktekkan oleh orang Manggarai sampai sekarang.

Salah satu contoh kegiatan konkret budaya oke copel adalah ritus keti le manuk miteng, podo le manuk miteng (diputuskan atau diakhiri dengan acara dipersembahkannya hewan piaraan berupa ayam berbulu hitam, anjing buta atau babi hitam). Budaya keti le manuk miteng, podo le manuk miteng maksudnya agar oke one waes laud, one lesos saled (membuang segala bentuk sial atau keburukan ke air dan dibuang bersama terbenamnya matahari). Ritus lain oke copel juga nampak dalam acara paki jarang bolong (acara mempersembahkan seekor kuda hitam kecoklatan untuk mengakhiri semua bentuk penderitaan dan kematian beruntun warga dalam satu kampung adat)

Biasanya bila ada kecelakaan/kematian yang disebabkan oleh kendaraan, kematian karena ditikam orang, dimakan binatang liar, disambar petir, dibawa banjir, ditimbun tanah longsor upacara oke copel yang tepat adalah acara oke dara ta'a (buang sial karena dibunuh orang atau kecelakaan, tenggelam).

Menurut kepercayaan orang Manggarai, apabila tidak dilakukan acara oke copel, maka bencana akan selalu terjadi dan dilanjutkan pada generasi berikutnya. Jenis acara dari oke copel tergantung sebab sial. Tujuan dari dibuatkannya acara tersebut agar tidak terulang lagi peristiwa tragis pada generasi selanjutnya, atau tidak terulang lagi pada benda atau orang yang sama. Dan, apabila ritus buang sial tersebut dilakukan, dipercaya sial itu akan berakhir pada benda, orang atau generasi selanjutnya. Di setiap kampung di Manggarai memiliki tempat untuk dijadikan sebagai lokasi pembuangan sial seperti sungai dan jurang (cunga).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun