Pada sebuah pelatihan pendidikan awal Juli 2019, seperti biasa saya menanyakan beberapa hal pada para peserta. Jawabannya saya baca acak, diskusi sebentar dan materi selanjutnya akan kami pilih alternatif solusinya.
Ada satu kertas dengan tulisan bersambung miring, persis tulisan bapak saya dulu. Unik. Menarik. Pertanyaan yang saya sampaikan ditulis ulang, rapi. Saat ice breaking saya mencermatinya.
Bapak X. Guru sejarah. Sudah mengajar 40 tahun. Masalah yang sering dihadapi selama menjadi guru: bla bla bla.
Apa rencana setahun kedepan? Menikmati masa pensiun.
Target 5 tahun kedepan? Menjaga kesehatan dan ingatan. Makin rajin ke gereja.
Buku apa yang ingin dibaca selama setahun kedepan? Kitab suci Injil.
Krik krik. Tiba-tiba saya ingat mati, pemirsa.
::
Lalu saya meminta beliau maju, bercerita tentang pengalamannya menghadapi satu anak paling 'aneh' selama menjadi guru, dan bagaimana beliau mengubahnya menjadi lebih baik.
"Dulu ada satu anak bernama Y, sering bolos, pimpinan genk. Kalau masuk sekolah, suka ngacau. Jika ditegur, gurunya ditantang berantem. Sepeda saya pernah digembosi, kursi saya pernah ditempeli permen karet, sepatu temannya pernah dicuri dan dijual untuk membeli minuman keras. Semua upaya sudah saya lakukan, karena saya wali kelasnya. Sampai akhirnya saya pasrah. Dan hanya bisa mendoakannya setiap saat. Tapi justru setelah itu dia membaik. Ternyata benar, kadang tuntutan kita pada murid kita yang terlalu tinggi dan cepat, hanya akan membuat mereka tersiksa dan makin bengal. Dampingi saja, beri teladan, dan doakan terus. Sekarang sang anak menjadi anggota DPR Kabupaten sini", beliau mengusap muka. Ada rasa syukur membuncah pada tatap matanya.
Ya. Beri teladan, dampingi, dan doakan. Noted.