Mohon tunggu...
Eva Nuraeni
Eva Nuraeni Mohon Tunggu... Penulis - Saya adalah seorang yang ingin menjadi orang

Hidup harus di buat mudah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politisasi para Elite Politik

7 Desember 2019   11:20 Diperbarui: 7 Desember 2019   11:31 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Eva Nuraeni

Indonesia merupakan Negara yang kaya dan beragam, memiliki berbagai keberagaamaan dimulai dari ras, agama, suku dan bahasa. Hal inipun yang di gunakan para elite poitik untuk semakin menggencarkan kampanyenya agar terpilih. Dengan mengunakan kesamaan sebagai tameng agar mendapatkan kemenangan.

Indonesia masih gencar dengan nasionalisme sara, dimana mayoritas pasti akan memenangkan kompetisi. Tameng identitas dimana berasal masih di anggap suatu yang perlu di pertimbangkan saat memilih. Hal seperti ini dianggap biasa, malah seperti sebuah tradisi seorang pemimpin terpilih bukan diliat dari kualitas dan kuantitasnya melainkan dari becround agama, ras, budaya dan daerah tempat dia berasal.

Nasionalisme sara seperti ini masih melekat di Negara kita. Saya percaya para elite politikpun sadar bahwa sebenarnya  system kampanye seperti ini salah. Tapi, mereka tetap membiarkan karena yang terpenting bagi mereka kekuasaan di dapatkan.

Entah rakyat yang lugu atau pemerintah yang sengaja membuatnya lugu, dengan keluguan para rakyat di Indonesia para elite politik semakin mudah menggencarkan rencananya. Orang yang menginginkan perubahan di anggap salah orang yang berbeda di kucilkan. Entah demokrasi macam apa ini para elite seakan setiap harinya terus gencar melakukan gerakannya tak peduli suara rakyat, tak peduli dengan keadaan rakyat.

Rakyat terus-menerus di buat buta agar tak melawan Negara, yang salah di benarkan yang benar di salahkan, politik ini seakan menjadi tradisi turun menurun entah dari sistemnya yang salah atau para pelakunyalah yang salah. Rakyat di buat tidak peduli dengan Negara mereka, seakan mendokrin rakyat agar acuh pada Negara.

Hal ini dilakukan agar mereka semakin mudah dan leluasa dalam melakukan rencananya. Menyebarkan janji untuk pembangunan seakan apa yang di katakan untuk rakyat, seakan mereka mengesampingkan ego dan kebutuhannya. Hal ini boleh saja di percaya tapi ingat setiap kelompok yang ambil alih di bangku pemerintah, sejujur apapun pasti ada kebutuhan kelompok mereka di dalamnya.

Sekalipun ada pemimpin nasionalis yang semata-mata terdorong oleh kemurnian cita cita bersama pasti didalamnya terdapat kepentingan dari kelompok mereka.

Kita mengetahui pada era globalisasi ini masyarakat lebih memilih untuk mendapatkan informasi melalui media informasi secara instan. Melihat ini elite politik malah melakukan taktiknya dengan membeli media pers agar semakin mudah membeli hati rakyat kasus ini terlihat pada pemilu tahun 2019.

Hal ini sesuai dengan berita yang di lansir oleh Republika.co.id (2019). Media harus kembali ke fungsinya menjalankan kontrol terhadap kekuasaan. Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo menyebut sejumlah wartawan dan media sempat tidak normal pada masa Pemilu 2019. "Kalau dalam situasi normal media itu netral dan independen, media menulis dengan proprosional berdasarkan kode etik jurnalistik. Kemarin itukan abnormal,"

Menurutnya, pada masa kampanye hingga putusan MK terkait perselisihan hasil pemilu khususnya pilpres, banyak media dan wartawan yang cenderung berpihak bahkan turut menyebarkan hoaks dan informasi yang spekulatif tanpa verifikasi dan konfirmasi. "Banyak media berpihak baik pada pihak sana maupun pihak sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun