Mohon tunggu...
Etrin Herabadi Sunjaya
Etrin Herabadi Sunjaya Mohon Tunggu... Penulis - IPB University

Bodoh aja belum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Peran Gender dalam Pengelolaan Hutan

27 Januari 2023   11:06 Diperbarui: 27 Januari 2023   12:02 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada pengelolaan hutan yang lestari partisipasi masyarakat menjadi aspek yang penting dan harus diperhatikan dalam setiap pengambilan kebijakan. 

Masyarakat pada hal ini harus diartikan dengan kontribusi dari peran laki-laki dan peran perempuan. Isu ini mulai mendapat perhatian serius dari pemerintah dengan dimasukkannya isu perempuan dalam GBHN tahun 1978. Lembaga Menteri Peranan Wanita juga dibentuk yang menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan pada tahun 1999. Selanjutnya, penerbitan PP Pengarusutamaan Gender (PUG). 

Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 yang tercantum dalam Laporan Tahunan Kegiatan Pengarusutamaan Gender bahwa, gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. 

Perbedaan peran ini bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, melainkan oleh perbedaan nilai-nilai, norma-norma, hukum, dan ideologi dari masyarakat yang bersangkutan (Situmorang 2015). 

Menteri LHK juga menerbitkan P.31/MENLHK/SETJEN/SET.1/5/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Peran-peran ini masuk dalam pengelolaan hutan rakyat sebagai usaha pengembangan paradigma social forestry dan penerapan peraturan pengarusutamaan gender di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. 

Hutan rakyat yang merupakan salah satu usaha dalam memperbaiki paradigma timber extraction hingga timber management yang sedikit lebih maju dalam tataran konsep, meski penerapannya mirip era penambangan kayu yang masih konvensional hingga menyebabkan permasalahan kelestarian lingkungan, sosial, dan ekonomi pada masyarakat (Mando et al. 2018). 

Paradigma baru berupa social forestry haruslah dapat menjawab persoalan termasuk permasalahan pada isu gender pengelolaan hutan. Namun, sayangnya masih ada kesejangan partisipasi, akses, kontrol, dan manfaat pembangunan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan akibat pembangunan yang bias. 

Kondisi ini memberikan kelemahan pada peran perempuan menyebabkan marginalisasi dan subordinasi terhadap perempuan yang terkesan berbudaya. 

Adanya pelemahan kontribusi dalam perekonomian maupun pelestarian hutan. Padahal di India dan Nepal ditemukan bahwa keberadaan lebih banyak perempuan dalam badan pengambil keputusan terkait hutan membuat perbedaan signifikan terhadap dua tujuan utama kehutanan masyarakat, konservasi lebih baik terhadap basis sumber daya dan pemenuhan kebutuhan lokal (Kabar Hutan). Perempuan yang memimpin perusahaan HTI juga berhasil mengelola hutan secara lestari sesuai standar dunia dan meningkatkan ekspor Pulp dan Paper pun meningkat (Beritasatu 2020). 

Kelurahan Tobimeita, Kecamatan Abeli, Kota Kendari dalam pengelolaan hutan rakyat masih juga didominasi oleh laki-laki terutama dalam pengambilan keputusan dan alokasi waktu kerja hingga lebih dari 60%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah dari masyarakat, sehingga kesulitan dalam memahami fenomena yang terjadi bahkan cenderung tidak menyadari isu gender yang sedang terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun