Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meracik Bumbu Persatuan untuk Kejayaan Indonesia

17 Januari 2019   09:44 Diperbarui: 17 Januari 2019   10:03 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang debat pilpres yang akan dilaksanakan tujuh belas januari ini, situasi nasional terasa semakin hangat dengan bertambah "berani" nya bumbu "hoax" disebarkan pada berbagai level sosial masyarakat. Dampaknya tidak sedikit dari masyarakat awam hingga masyarakat intelektual terdidik yang akhirnya ikut "larut" dalam kekeliruan informasi seperti isu tujuh kontainer surat suara yang viral dan terbukti "hoax" itu. 
Selain itu bertambah canggih dan kompleksnya media propaganda yang dilibatkan menunjukkan niat semangat kompetisi yang sudah "full power" untuk memenangkan "pertandingan" suksesi bulan april ini. Kondisi ini juga terlihat dari modus "hoax" yang selama ini bentuknya hanya secara "tulisan" yang panjang dan menjemukan itu akhirnya menjelma pada bentuknya yang baru, yang lebih memikat emosi melalui klip video yang bebas di akses melalui "you tube". 

Terlepas dari jurus strategi politik masing-masing tim sukses calon dengan segala manuvernya, ada beberapa gejala "tidak sehat" yang perlu diwaspadai bersama. Indikasi serius-nya adalah digunakannya  propaganda yang tidak beretika. Hembusan "hoax" nya sudah berani menyentuh pada wilayah krisis identitas kebangsaan nasional. Eksploitasi politik identitas yang dari dulu selalu dihindari karena berpotensi pada pengkotak-kotakan masyarakat  sekarang mulai terasa "legal" dan tanpa sungkan ditampilkan terbuka. 

Menyikapi perkembangan sensitif seperti ini, pertanyaan yang kemudian mengusik rasa nasionalisme kebangsaan adalah ketika umpan pancing intrik suksesi terkesan sengaja digulirkan oleh "oknum" tertentu hingga menyasar liar tanpa arah dan menyerempet sisi-sisi "rapuh" dari kemajemukan bangsa. Bukan rahasia lagi bila belakangan ini kerap terdengar  perdebatan konyol. 
Soal siapa yang lebih utama dan lebih layak diperjuangkan. Antara saudara se-darah, saudara se-bangsa atau saudara se-daerah atau saudara dalam bingkai primordial lainnya menjadi polemik laris dalam diskusi diruang-ruang publik. Seakan tidak ada lagi  sungkan "ewuh pekewuh" memperbincangkannya. 
Benarkah semua orang di negara ini, tua muda, di desa atau di kota pasti sudah maklum dan sudah dewasa pikirannya dalam menyikapi dinamika kondisi seperti ini ?. Siapa yang berani menjamin bahwa tidak mungkin ada masyarakat yang terjebak pada isu perpecahan diantara sesama anak bangsa. 
Apakah nasehat politik negarawan seperti Sultan Hamengku Buwono, Mahfud MD maupun Buya Ismail dan tokoh lainnya yang selalu mengingatkan untuk meningkatkan kewaspadaan nasional dari ancaman terhadap  perpecahan bangsa yang potensial membonceng pada agenda suksesi nasional ini. Apakah kekhawatiran seperti ini dinilai sebagai ketakutan yang berlebihan ?. Atau malah ini yang benar.
Apakah rakyat kita sudah dewasa berpolitik, sehingga  tidak perlu dikhawatirkan konflik akibat beda pilihan politik akan berdampak pada  pecah-nya negara seperti yang sudah terbukti terjadi dinegara majemuk lainnya seperti uni soviet yang sekarang hanya tinggal nama itu ?. Sudah adakah bukti bahwa rakyat kita pasti sanggup memilah-milah antara berita "hoax" dan fakta, klip video "you tube" yang orisinil atau yang sudah di "dubbing" ?. Sudahkah rakyat kita mampu "menikmati" intrik dan strategi politik suksesi sambil  tetap tersenyum ramah dengan saudara-nya yang berbeda sikap pilihan politiknya ?,  Ibarat sejuknya hawa pegunungan bumi persada ini walapun rintik gerimis dan kicau aneka burung tak se-irama dengan suasana hati nya ?.  
Bila memang sudah demikian kenyataan dan kedewasaan masyarakat-nya, maka kita semua sudah bisa tidur nyenyak sambil bermimpi indah tentang kejayaan Indonesia. Kejayaan sebagai bangsa besar yang sudah terpampang jelas didepan mata.
Tapi bila contoh kenyataannya ternyata berbeda, bagaimana ?. Apakah kita mau mempertaruhkan eksistensi keutuhan negara ini ?. Jika masyarakat kita ternyata masih belum dewasa berpolitik dan masih gampang diplintir dan tergelincir oleh berita "hoax" sehingga mudah ter-provokasi, maka kita semua yang merasa sebagai masyarakat "terdidik" wajib perduli dan turun gunung menjaga eksistensi bangsa ini agar tidak menjadi negara gagal yang banyak dialami oleh negara-negara berkembang yang lahir usai perang dunia ke dua usai.
Terlepas dari semua hiruk pikuk intrik suksesi, kita selayaknya patut bersyukur dan bangga menjadi warga negara Indonesia. Mengapa ?. Karena tidak banyak negara di dunia ini yang se-kaya Indonesia sumber daya alam dan sumber daya manusia nya. Artinya Semua prasyarat kondisi yang dibutuhkan untuk menjadi negara maju, sudah ada di negeri kita ini.  Ibarat masakan, segala jenis bahan, rempah dan bumbu yang diperlukan sudah ada lengkap tersedia, bahkan pete dan jengkol pelengkap sajian, semuanya sudah ada tersedia. 
Tinggal di-petik, di-aduk dan ditambahi sedikit garam saja. Persoalan yang mendasarnya adalah, siapakah pemimpin yang mampu, yang mengerti cara meracik bumbu persatuannya itu dengan tepat, hingga bisa nikmat terasa  pada seluruh "lidah" rakyat Indonesia,  yang ada nyata beraneka warna budaya dan hidup di bumi persada tercinta ini. 
Tidak ada susah nya. Gampang saja, karena banyak jumlah sumber daya manusia Indonesia-nya maka otomatis banyak juga pilihan calon pemimpin bangsa  yang tersedia. 
Persoalannya kemudian, apakah sang pemimpin yang akan terpilih itu nanti sudah mengenali ciri khas seluruh "hasil bumi" maupun jenis hidangan nusantara yang sangat luas ini, sehingga dijamin pasti mampu mengolah masakannya dengan cita rasa yang tepat ?.  Cita rasa pembangunan yang bisa diterima  dan dinikmati oleh seluruh penduduk negeri ini ?  Disitulah akar pemecahan  persoalan bangsa ini. Pemimpin yang dibutuhkan negara ini sejatinya  harus mau belajar mendengar dan melihat langsung kekayaan dan kemiskinan alam dan manusia nya dari sabang sampai merauke. Ibarat meracik bumbu supaya "rasa" masakannya bisa diterima oleh semua rakyatnya. Nikmat rasa "pembangunan" yang  bisa dirasakan bersama. 
Penutup
Negara yang besar pasti juga dianugrahkan tantangan yang besar. Karena sejatinya, memang hanya negara besar yang sanggup menerima tantangan yang besar, seperti negara Indonesia kita ini. Bagaikan layang-layang yang sedang "meliuk-liuk" mencoba bertahan di angkasa saat hujan, angin kencang dan sambaran petir menerpa. Negara yang sedang di tempa melalui ujian bencana alam maupun  bencana "akhlak" seperti yang sekarang sering diungkapkan para elite bangsa. Sudah seharusnya semua  rakyatnya ikut siaga dan ikut waspada,  juga wajib berdoa agar layangan itu tetap mampu gagah bertahan mengudara di angkasa hingga badai itu berlalu. Jelas dan sangat tidak pantas bila ada yang tega "memancing ikan"  saat badai, hujan dan angin kencang itu bertubi-tubi menerpa. Maknanya apa ?.
Semua negara dimanapun pasti pernah mengalami dinamika dan gejolak didalamnya.Tidak ada negara yang tidak pernah di terpa badai. Wajar dan biasa saja itu. Hukum alam yang selalu terjadi adalah bahwa tidak ada badai yang tidak berlalu. Hanya soal waktu saja. Begitu jugalah yang terjadi dalam seleksi politik di negara demokrasi, seperti Indonesia saat ini. K
enyataan sejarah yang tidak boleh pernah dilupakan, bahwa optimisme terhadap kesaktian Pancasila dan semangat persatuan bangsa sudah terbukti ampuh mengatasi pemberontakan komunis dan ancaman perpecahan bangsa di tahun 50 an. Dengan contoh demikian maka Pancasila juga pasti sanggup menyatukan seluruh warna "bumbu" anak bangsa yang beraneka rasa ini. Tinggal mencari siapa sosok pemimpin yang tepat dan dipercaya rakyat untuk meracik bumbu persatuan itu. Setelah pilpres usai dan siapapun yang terpilih, semua harus tunduk dan patuh menerimanya. Pemimpin pilihan rakyat pastilah keputusan Tuhan. Jangan di polemik-kan lagi. Selesai

Esra Kriahanta Sembiring, S.IP, M.AP, M.Tr (Han),
Kader Bela Negara Tingkat Nasional

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun