Mohon tunggu...
Evi Siregar
Evi Siregar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen-peneliti

Bekerja di sebuah universitas negeri di Mexico City.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pulang Kampung, Masih Perlukah untuk Terus Ditanamkan?

1 Februari 2019   00:43 Diperbarui: 30 April 2019   04:43 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto: Evi Siregar

Istilah pulang kampung, atau yang lebih akrab lagi mudik, acapkali dihubungkan dengan lebaran. Pada akhir bulan puasa, masyarakat (khususnya yang berada di ibukota negara dan propinsi) bersiap-siap mengunjungi keluarga untuk merayakan lebaran bersama mereka. 

Mereka menggunakan kesempatan liburan lebaran ini terutama untuk mengunjungi orangtua. Maka tak heran, karcis kereta api, bus, dan bahkan tiket pesawat terbang pun nyaris habis mulai dari pertengahan bulan puasa pada setiap tahunnya.

Sejak kapan istilah tersebut muncul? Apakah benar hanya merujuk pada kegiatan pulang ke kampung pada saat lebaran? Menurut beberapa sumber tidak resmi, kegiatan mudik atau pulang kampung sudah ada sejak beberapa abad yang lalu. 

Istilah tersebut merujuk pada kegiatan pulang ke kampung untuk berziarah ke makam orangtua dan para leluhur, untuk memohon keselamatan dan berkah mereka, agar mereka hidup baik di perantauan. Sayangnya, tak ada keterangan lengkap mengenai tradisi ini.

Pada masa sekarang (setelah Indonesia merdeka), istilah pulang kampung atau mudik berkembang pesat pada tahun tujuh-puluhan. Istilah yang berkembang pada saat itu memang mengacu pada kegiatan pulang ke kampung menjelang lebaran, dan pemakaiannya didominasi untuk para pemudik di Jakarta. Mengapa? 

Pertama, karena pada saat itu Jakarta merupakan satu-satunya kota yang berkembang dengan pesat. Di kota ini dikonsentrasikan pembangunan negara, mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan lain-lain, sehingga hal ini menjadi daya tarik masyarakat dari seluruh pelosok negeri untuk tinggal di kota Jakarta, baik kemudian tinggal secara permanen di sana atau hanya untuk sementara (hanya sebagai tempat untuk mencari nafkah atau ilmu).

Menurut sebuah sumber, 80% penduduk kota Jakarta adalah masyarakat pendatang. Orangtua mereka tetap tinggal di desa. Seperti yang kita ketahui bersama, lebaran merupakan satu-satunya waktu berlibur yang "cukup" panjang, terutama bagi anak-anak sekolah. 

Ini merupakan satu-satunya kesempatan untuk bisa pulang ke kampung halaman, untuk mengunjungi orangtua, keluarga, sanak saudara, dan handai tolan. Apalagi, mereka yang tinggal di Jakarta sudah mengantongi sejumlah uang hasil menabung selama satu tahun. 

Di sisi lain, dalam tradisi masyarakat Indonesia yang sudah terbentuk sejak beberapa abad, lebaran merupakan kesempatan untuk saling bermaaf-maafan, terutama kepada orangtua dan memohon doa dan restu mereka. 

Jadi, lengkaplah sudah alasan mengapa orang-orang pulang kampung pada waktu lebaran. Dan, banyaknya jumlah pemudik dari tahun ke tahun pun bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di kota dan penduduk yang datang ke kota untuk berbagai tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun