Mohon tunggu...
Erwin Saputra Siregar
Erwin Saputra Siregar Mohon Tunggu... Dosen - Ikatlah Ilmu dengan Menulisnya

Baca Tulis, Tulis Baca

Selanjutnya

Tutup

Money

Merger Bank Syariah Antara Berkah atau Musibah?

16 Juni 2021   13:47 Diperbarui: 16 Juni 2021   14:04 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Perkembangan ilmu ekonomi syariah di Indonesia sebenarnya sangat pesat. Ditandai dengan pendirian lembaga-lembaga keuangan syariah dan pembukaan program studi di perguruan tinggi mulai dari ekonomi syariah, perbankan syariah, manajemen syariah, akuntansi syariah, asuransi syariah, dan masih banyak lagi. Mulai dari program sarjana, magister, dan doktoral. Tetapi penguatan secara ilmu ini terasa belum begitu kuat secara terapannya. Ekonomi syariah yang diharapkan menjadi jawaban dari lemahnya sistem ekonomi sebelum-sebelumya ternyata belum bisa berbuat banyak. Sampai saat ini sistem ekonomi terdahulu masih merajai di Indonesia yaitu sistem ekonomi kapitalisme (Hamid, 2014). Dalam praktik ekonomi syariah, kebijakan moneter pada mata uang yang direkomendasikan adalah menggunakan dinar dan dirham, sementara sistem ekonomi sekarang menggunakan uang kertas dan logam. Dinar dan dirham lebih adil karena harganya sesuai dengan nilai instrinsiknya, sementara uang kertas dan logam tidak sesuai (Pujiyono, 2004). Masing-masing negara mempunyai uang kertas dan logam yang berbeda. Negara yang kuat akan mempunyai nilai mata uang yang kuat, sementara harga uangnya tidak sesuai dengan nilai intrinsiknya. Bahkan banyak mata uang yang kuat yang lebih murah harganya dibanding harga mata uang yang lemah. Lembaga keuangan syariah yang paling populer di Indonesia adalah bank syariah. Paradigma masyarakat menganggap bahwa ekonomi syariah adalah bank syariah, bank syariah adalah ekonomi syariah. Untuk saat sekarang ini, bank syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah yang paling besar perannya untuk perekonomian Indonesia dibanding peran lembaga keuangan syariah lainnya.

Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi, yaitu perantara yang kelebihan dana dan kekurangan dana. Secara fungsi, bank syariah sama saja dengan bank konvensional, namun dalam hal menjalankan usaha bank syariah dikawal koridor syariah Islam (Ikatan Bankir Indonesia, 2014). Bank syariah menjadi salah satu harapan dalam membangkitkan perekonomian secara nasional. Menjadi harapan karena banyak opsi akad yang bisa dilakukan bank syariah untuk menyentuh sektor rill secara langsung. Tetapi bank syariah belum terlalu akrab dengan masyarakat di Indonesia. Belakangan setelah diperhatikan bank masih terlalu mewah untuk sebagian besar masyarakat di Indonesia. Terkadang juga bank menjadi sesuatu yang menakutkan untuk sebagian kecil masyarakat. Jika dibandingkan antara bank konvensional dengan bank syariah, masyarakat lebih memilih bank konvensional. Bank konvensional ekspansinya jauh lebih massif dibanding bank syariah. Bank konvensional sudah hadir bahkan di lokasi-lokasi terpencil, terdalam, dan terluar. Apalagi jika dibandingkan imbal hasil, bank konvensional lebih murah dibandingkan bank syariah.

Hal yang sudah lama digaungkan sejak awal pendirian bank syariah di Indonesia adalah potensinya. Potensi ini seolah-olah sudah menjadi angin surga yang begitu indah untuk para cendekiawan ekonomi syariah yang fokus mematangkan konsep lembaga keuangan syariah. Jika dilihat sekilas, data statistik yang diperoleh dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih mengindikasikan keterpurukan bank syariah. Potensi dari bank syariah memang luar biasa, tetapi pangsa pasar yang dikuasainya sampai Januari 2021 bercokol pada angka 6,51% (Statistik Perbankan Indonesia - Januari 2021, t.t.) (Statistik Perbankan Syariah - Januari 2021, t.t.). Pangsa pasar bank syariah ini terdiri dari bank umum syariah dan unit usaha syariah. Bonus demografi yang menjadi given dari Allah SWT terkadang tidak serta merta menjadi berkah buat Indonesia. Dilansir dari website portal Indonesia mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, berjumlah 207 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk Indonesia (Indonesia.go.id, t.t.). Memang market share yang dimaksud adalah pangsa pasar bank syariah terkait aset. Tetapi terkait dengan aset, penduduk Indonesia yang mayoritas Islam sebesar 87,2% kenapa hanya dapat dikuasai bank syariah sebesar 6,51%. Bagaimana nasib potensi aset 80,69% lagi, jawabannya belum bisa digaet oleh bank syariah secara seksama. Sebagai informasi negara tetangga seperti Malaysia sudah menguasai pangsa pasar bank syariah di atas 25%.

Potensi yang dibicarakan di atas seolah-olah meredup setelah 20 tahun lamanya bank syariah berkecimpung di dunia perbankan Indonesia. Dari hasil penelitian Ihsan dan Kartika dinyatakan bahwa kondisi keuangan bank umum syariah cenderung meningkat, kesehatan bank umum syariah tidak terganggu meskipun terjadi krisis, dan bank umum syariah merupakan bank yang aman, sehat, dan dapat dipercaya (Ihsan & Kartika, 2015). Menurut hemat penulis masalah perkembangan bank syariah bisa dikatakan lambat. Angka 6,51% itu bukan angka yang fantastis jika melihat potensi bank syariah yang sebenarnya. Keuangan bank syariah memang cenderung meningkat, tetapi peningkatannya tidak segesit bank konvensional. Potensi bank syariah ini seperti terabaikan di negeri yang mayoritas muslim. Konsep yang sudah disusun matang sepertinya belum bisa memikat hati masyarakat Indonesia. Kekurangan bank syariah juga masih banyak dari sisi lain yang sulit digambarkan.

Ditilik dari sejarahnya, saat ini bank syariah di Indonesia masih berusia 28 tahun ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 November 1991. Dibanding dengan bank konvensional yang sudah lebih jauh melangkah, seperti BRI sudah berusia 124 tahun. Dilihat dari segi aset, Bank Syariah Mandiri merupakan bank syariah dengan aset terbesar yaitu 102,78 Triliun sementara BRI mempunyai aset sebesar 1.305,60 Triliun. Jarak yang begitu jauh ini memerlukan kebijakan khusus dari pemerintah agar bank syariah dapat bergelora di Indonesia dengan potensi yang paling besar di dunia. Menurut Abu Ishaq al-Syayrazi kebijakan pemerintah mempunyai peranan signifikan dalam mendorong pertumbuhan pembangunan ekonomi suatu negara. Pengambilan kebijakan selalu melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka menegakkan keadilan bagi umat manusia. Tidak hanya dilihat dari prosesnya tetapi juga kontribusinya kepada masyarakat luas. Kebijakan yang zalim akan membawa kemudharatan. Kebijakan seperti ini mesti ditinjau kembali akan tetapi wajib dibatalkan (Zawawi, 1999).

Kebijakan politik negara dalam rangka untuk percepatan pengembangan perbankan syariah di Indonesia sangat ditunggu-ditunggu. Saat ini kebijakan yang telah diputuskan pemerintah dalam rangka menjaga asa terhadap potensi bank syariah di Indonesia adalah dengan melakukan penggabungan (merger) antara BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (ID, t.t.). Rencana pembentukan bank syariah baru sebenarnya sudah lama direncanakan, tetapi formulasinya belum kunjung disepakati waktu itu. Apakah dengan cara merger atau membentuk bank syariah yang baru. Jika harus merger, bank apa saja yang harus dimerger dan jika dibentuk bank syariah baru, bagaimana prosedurnya. Pertimbangan likuiditas dan profitabilitas juga sangat diperhatikan dalam memutuskan hal ini. Karena dua hal tersebut menjadi sesuatu yang substantif dalam pengembangan bank syariah. Dengan penggabungan bank syariah, maka likuiditas akan semakin besar, pertanyaan besarnya apakah berbanding lurus dengan pencapaian profitabilitasnya nanti (Danupranata, 2013). Profitabilitas adalah suatu acuan apakah bank menjalankan usahanya dengan cara yang efisien. Alat untuk mengukur profitabilitas adalah Return on Assets (ROA) (Yuliani, 2007). Likuiditas merupakan keseimbangan bank dalam menghimpun dana dan menyalurkan dana (Siamat, 1995). Bank Syariah Indonesia akan beroperasional efektif 1 Februari 2021 (Merger Bank Syariah BUMN Efektif 1 Februari 2021: Okezone Economy, t.t.). Dengan beroperasionalnya Bank Syariah Indonesia itu, maka BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah akan lenyap dari dunia perbankan syariah di Indonesia. Pertanyaan sederhananya apakah Bank Syariah Indonesia ini masih bisa menjaga loyalitas nasabah ketiga bank syariah tersebut? Apakah nasabah-nasabah tersebut akan seantusias sebelumnya? Karena masing-masing bank syariah ini punya ciri khas. Bahkan dalam penelitian Mardianto dan kawan-kawan, secara empiris merger tidak bisa menaikkan profitabilitas dan memperbaiki likuiditas dalam jangka pendek (Mardianto dkk., 2018). Selain itu, hasil penelitian Syukron menjelaskan target pengembangan bank syariah belum mencapai ideal (Syukron, 2013). Hal-hal ini menjadi sangat penting dikaji oleh pemangku kebijakan. Jangan sampai potensi yang diharapkan itu lambat laun memudar dan akan hilang begitu saja.

Salah satu kebijakan pemerintah terkait lembaga keuangan syariah adalah dengan mendirikan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) belum terlalu memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan bank syariah. Berkaca dari data yang telah dipaparkan di atas. Laba Bank Syariah Mandiri pada tahun 2020 memang naik sebesar 111%, tetapi laba Bank Muamalat Indonesia turun terjun bebas 95%. Suatu fenomena yang menarik, Bank Muamalat Indonesia merupakan bank syariah yang pertama berdiri di Indonesia yaitu pada tahun 1991, sementara Bank Syariah Mandiri merupakan bank syariah terbesar di Indonesia berdiri pada tahun 1999. Normalnya Bank Muamalat Indonesia menjadi bank syariah terbesar karena lebih lama berkiprah. Menjadi dilema mungkin ketika kebijakan pemerintah menimbulkan hasil yang berbeda dari kedua bank syariah terbesar di Indonesia tersebut.

Kenapa merger? Kenapa tidak akuisisi? Kenapa tiga bank syariah itu saja? Ini menjadi pertanyaan yang lumayan mengganggu penulis. Menurut pendapat penulis, merger bank syariah ini kurang tepat dari segi waktunya. Saat ini, bank syariah masih menjadi pemain kecil di dunia perbankan, tetapi akan dikarbit menjadi pemain besar. Berkah karena akan hadir bank syariah besar yang didamba-dambakan dari sejak dulu dari segi aset. Musibah karena akan berdampak kepada bank-bank syariah kecil. Jika dampaknya buruk, maka kemungkinan market share bank syariah akan turun lagi. Alasannya adalah jika Bank Syariah Indonesia ini hadir di tengah-tengah masyarakat dengan segala kemudahan yang lebih dibanding bank-bank syariah lain, maka bisa jadi masyarakat akan berbondong-bondong moving on ke Bank Syariah Indonesia. Bagaimana nasib bank syariah yang lain? Bank syariah yang lain akan semakin menciut dan tidak punya nyali sehingga ujungnya bisa bubar. Kemudian Bank Syariah Indonesia bisa memonopoli pangsa pasar perbankan syariah atau dalam kata lain menurunkan persaingan antar bank syariah yang selama ini seru. Ini pertanda baik atau tidak, masih menjadi perdebatan. Belum lagi terkait kendala-kendala seperti dominasi Bank Syariah Mandiri nantinya. Bank Syariah Mandiri bisa mendominasi karena punya aset yang dominan di Bank Syariah Indonesia. Bahkan jika digabung antara aset BRI Syariah dan BNI Syariah, aset Bank Syariah Mandiri masih jauh lebih besar. Dilema ini bisa menjadi persoalan dalam tataran manajemen dan operasional (Risiko yang Membayangi Proses Merger Bank Syariah Pelat Merah - Tirto.ID, t.t.). Jika kita lihat secara nyata, merger ini tidak berdampak terhadap market share perbankan syariah di Indonesia. Karena bank syariahnya bukan bertambah, tetapi bank syariahnya tetap pada jumlah yang sama dengan penggabungan tiga bank syariah dalam arti asetnya juga sama saja. Jika berpikir dan merenung lebih dalam lagi, apakah ada kepentingan lain dari merger bank syariah ini?

Menurut hemat penulis, dibandingkan dengan merger bank syariah lebih baik pemerintah membentuk bank syariah yang baru. Atau dalam arti lain, pemerintah membuat bank syariah yang benar-benar baru. Dengan membentuk bank syariah baru maka aktor bank syariah akan bertambah di lapangan sementara ketiga bank syariah yang sudah besar dan brandnya sudah bagus di masyarakat tetap berjalan. Dengan harapan bank syariah yang baru ini akan memancing bank syariah yang lain untuk lebih produktif lagi. Dari segi aset, bank syariah ini seharusnya disesuaikan dengan rata-rata aset perbankan syariah agar persaingannya sehat dan seru. Kenapa penulis lebih memilih pembentukan bank syariah yang baru? Karena menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah mewajibkan agar Unit Usaha Syariah melakukan Spin Off yaitu menjadi Bank Umum Syariah paling lambat 15 tahun setelah undang-undang disahkan yaitu pada tahun 2023. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana akan merevisi undang-undang tersebut karena pergerakan unit usaha syariah yang lambat (Mediatama, 2019). Jika spin off bisa dilaksanakan, ini menjadi amunisi baru untuk perkembangan bank syariah. Bank syariah baru ditambah bank-bank syariah yang sudah besar dan dilengkapi bank-bank syariah yang sudah spin off, gebrakannya bisa jadi massif. Pilihan layanan bank syariah akan semakin variatif dan menarik.

Usaha pembentukan kelembagaan bank syariah yang sudah bagus memerlukan fondasi dari akar rumput yang sangat kuat. Kepedulian masyarakat tentang kesyariahan dalam kegiatan ekonomi masih sangat minim. Pandangan ini sudah pernah penulis jelaskan pada tulisan sebelumnya. Penulis selalu mengulangi pernyataan ini karena sudah menjadi akar masalah yang sangat ruwet. Bank konvensional selalu disamakan dengan bank syariah. Karena bank-bank syariah yang besar merupakan anak perusahaan bank konvensional yang besar. Sehingga konotasi konvensional itu tidak serta merta hilang bahkan menimbulkan persepsi kesamaan bank syariah dan konvensional di mata masyarakat. Bahkan dari segi sumber daya insani di bank syariah tidak mengutamakan alumni-alumni dari jurusan perbankan syariah. Hal ini juga bisa menjadi suatu pemikiran yang dalam untuk perguruan-perguruan tinggi yang memiliki jurusan perbankan syariah. Kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan bank syariah di lapangan mau tidak mau harus disesuaikan. Jika alumni jurusan perbankan syariah tidak menjadi pasokan utama untuk menjadi karyawan atau pegawai bank syariah lalu siapa lagi? (Siregar & Siregar, 2020).

Dalam dunia pendidikan, penulis yang juga berprofesi sebagai dosen perbankan syariah berpendapat bahwa program studi perbankan syariah saat ini tidak menjanjikan lagi. Seperti cerita di atas, banyak lulusan D3 atau S1 perbankan syariah yang tidak mempunyai pekerjaan. Kurikulum yang dibangun dalam program studi perbankan syariah terlalu teoritis. Sementara secara praktik langsung, mahasiswa tidak maksimal memperolehnya di kampus. Tugas-tugas yang menumpuk diberikan dosen tidak mengacu pada seorang calon praktisi perbankan syariah yang sesungguhnya. Dalam analisis perhitungan masih banyak mahasiswa yang gelagapan untuk menalarkannya. Analisis angka menurut hemat penulis merupakan satu elemen penting yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa perbankan syariah. Nalar berhitung ini menjadi pertimbangan yang utama untuk menjadi seorang bankir syariah. Jika hanya mahasiswa tahu tentang ayat Alquran tentang ekonomi, tahu akan halal dan haram tentang transaksi ekonomi, tetapi tidak cakap dalam analisis, mungkin inilah salah satu pertimbangan bank syariah lebih memilih lulusan dari program studi ekonomi konvensional. Bank syariah sudah diyakinkan akan kemampuan nalar berhitung dari lulusan ekonomi konvensional sejak tes dilaksanakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun