Mohon tunggu...
Irfaan Sanoesi
Irfaan Sanoesi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar seumur hidup

Senang corat-coret siapa tahu nama jadi awet

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Musuh Nyata Itu Bernama Hoax, Papua Sering Jadi Korban

11 Maret 2023   16:41 Diperbarui: 11 Maret 2023   16:45 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi kerusuhan yang diduga dipicu oleh kabar bohong (hoax) daya rusaknya sangat besar di Wamena, Papua (23/02/2023). Sumber: kompas.com

Hoax atau kabar palsu gelombangnya kian besar. Seiring dengan arus teknologi juga juga kian besar.  Kita semakin sulit membedakan di kala artificail intelgence (AI) turut hadir dalam tiga bulan terakhir. Tak ayal masyarakat kita kerap terpancing bahkan tak jarang berujung pada konflik horizontal.

Belum genap sebulan, hoax memakan korban di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, Kamis (23/02/2023). Berdasarkan data Kabid Humas Polda Papua, Kombes Ignatius Bennny Adi Prabowo, akibat yang disebabkan hoax tersebut mencapai 10 orang tewas, 18 anggota TNI-Polri  dan 14 warga sipil mengalami luka.

Peristiwa itu bukan yang pertama kali. Hoax di Monokwari pun menyulut letupan-letupan sosial yang merugikan tak hanya korban jiwa, tapi kerugian material yang mencapai milyaran rupiah.

Tentu kita tidak mau melihat peristiwa kerusuhan dan hoax menjadi pemicunya terjadi di Indonesia termasuk di tanah Papua. Untuk itu, setiap elemen masyarakat bahu-mambahu membangun sistem kekebalan pikiran terhadap hoax. Tujuannya agar masyarakat kita semakin kritis dan teliti dalam mengonsumsi informasi. Tidak serta merta ditelan mentah.

Saya kira ada benarnya pernyataan dari Kepala Wilayah Kemenkumham Papua, Anthonius M. Ayorbaba. Dia mendorong agar masyarakat Indonesia termasuk Papua diberikan edukasi mengenai literasi digital.

Gagasan ini sangat masuk akal. Terlebih lebih dari separoh populasi di Indonesia hari ini merupakan masyarakat digital. Namun mereka belum siap menghadapi kenyataan bahwa dunia digital penuh dengan fatamorgana.

Salah satu materi wajib dalam edukasi literasi digital adalah terkait critical thinking (berpikir kritis). Berpikir kritis menjadi filter pertama dalam membendung gelombang deras hoax. Tentu berpikir kritis wajib dipelajari dan dilatih. Tak cukup sehari dua hari. Namun dilatih selama hayat dikandung badan.

Hoax ini jika dibiarkan bahayanya semakin mengancam stabilitas negara. Hoax yang terus menerus digaungkan, dia akan menjadi suatu kebenaran yang tidak disadari bahwa perilakunya itu akan menjadi sebuah kebiasaan dalam beraktivitas (habitual activities).

Jika sudah demkian, maka di bawah alam sadar menormalisasi segala sesuatu yang salah menjadi sebuah tradisi. Dan akan terus dilakukan karena menganggap hal itu bagian dari kebiasaan. Oleh sebab itu, hoax wajib dicegah sebelum bahanyanya semakin menganga.

Pemerintah (goverment) dan masyarakat sipil (civil society) harus terus berkolaborasi membangun sistem dan edukasi literasi. Jangan sampai NKRI menjadi porak-poranda disebabkan oleh segelintir kelompok yang ingin memuaskan syahwat egonya dan mengambil untung dari konflik sosial yang terjadi.

Apalagi tahun politik semakin dekat dan tak jarang menjadikan hoax sebagai instrumen merengkuh kursi singgasana kekuasaan. Apapun akan dilakukan demi memuaskan syahwat kekuasaan memimpin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun