Catatan saya kali ini tidak mengulik latar belakang kelahiran peringatan Hari Solidaritas untuk Perjuangan Palestina, 29 November. Sudah banyak tulisan dari para ahli tentang Palestina, yang dianalisis dari berbagai persfektif.
Apakah penyaluran hasrat Palestina 'tanpa akhir' untuk kemerdekaan dari penjajahan Israel? Akankah Palestina menjadi kenangan sejarah?
Baiklah, saya mungkin bertitik tolak dari sesuatu yang membuat senyum manis rontok.
Mengapa Hasrat?
Peristiwa terjadi lebih setahun yang lalu, kala persetujuan gencatan senjata antara Israel dan Palestina, 20 Mei 2021 setelah perang sebelas hari.Â
Gencatan senjata yang rapuh. Beberapa jam perayaannya, bentrokan pun terjadi antara kedua belah pihak. Pendukung Hamas menyebutnya sebagai the victory of the resistance (kemenangan perlawanan terhadap Israel). Dari titik ini, kita bisa mengatakan bahwa 'Palestina sebagai hasrat'.
Sesuatu telah mencapai titik akhir ketika mereka menggapai titik kelenyapannya. Ketika itu pula mulai bergerak menuju titik tolaknya.
Permasalahan Palestina yang kompleks menjadi tanda ekspresi tersendiri (derita dan senyum terasa hambar) nyaris tidak pernah sepi di jagat media.
Kita tidak terpaksa untuk mengingat kembali teori tentang kuasa, strategi, dan kepentingan bersama relasi-relasi yang membentuknya, yang menjelaskan bagaimana tanda-tanda dan proses-proses perdamaian didambakan oleh sekian banyak manusia sejak lama.
Melalui negosiasi atau perjuangan diplomatis, upaya damai antara kedua pihak sebagai diskursus atau bahasa universal meluapi batas-batasnya sendiri dan menegaskan wujud Palestina.Â
Satu sisi, strategi dan skenario untuk kepentingan menciutkan teritori. Pada sisi lain, memperluas teritori.