Disitulah muncul logika terbalik, yang dimainkan terutama reaksi dari pihak yang menentangnya.
Jika demikian, “atas dasar suka sama suka diperbolehkan penyaluran seksual.” Menerima persetujuan dari salah satunya, berarti suatu pengecualian.
Pasal, ayat, dan huruf tertentu paling santer diberitakan sebagai titik tolak penilaian legalisasi perzinaan, akhirnya disoroti oleh berbagai pihak.
Yang lucu atau dianggap lucu yang tidak lucu, ada orang belum melihat apa sesungguhnya isi dari regulasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi serta merta ikut berteriak dan menyumpahi bahwa telah mengarah pada pemberlakuan seks bebas.
Pro dan kontra pun tidak terelakkan dengan kemunculan regulasi tersebut. Saat teman menampilkan laman media online tentang berita yang bersangkutan di grup WhatsApp.
Sontak, saya menanyakan mengapa unduhan regulasinya tidak ditampilkan.
Maksudnya, paling tidak kita bisa membaca secara seksama apa isinya.
Hal tersebut, tergantung dari pembaca obyek peristiwa, apakah kita mempermasalahkan atau tidak atas kehadiran regulasi, yang dari beberapa aspek tentang keasusilaan dinilai sebagai pelanggaran norma atau moral Ketimuran yang sangat serius dan berakibat fatal.
Mengapa dikatakan seksual adalah bukan permasalahan ada atau “tanpa persetujuan korban?” Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, kita mengambil rujukan tentang frasa “tanpa persetujuan korban.” Secara tidak langsung akan memancing atau membangkitkan perhatian seseorang atau kelompok dalam bentuk respon atau reaksi penolakan dan dukungan dari pihak tertentu.