Mohon tunggu...
Erick Mubarok
Erick Mubarok Mohon Tunggu... Petani - Penulis

Petani yang sedang belajar komunikasi | Penyuka sejarah | Penonton dagelan | Gooner dan Bobotoh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik Dinding Masjid

24 November 2016   10:19 Diperbarui: 24 November 2016   19:00 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam beberapa kesempatan sejak 2010, sambil menyelam mendulang ikan: sambil penelitian sambil jalan-jalan. Saya mencoba mengunjungi beberapa Masjid besar di beberapa wilayah. Misalnya saja Demak, Rembang, Batam, Pekanbaru, Pontianak, Palangkaraya, Jepara, Surabaya, Palembang, Medan, Palu, Sukabumi, Cianjur. 

Ternyata, dari sekian Masjid hampir rerata mempunyai standar keindahan dan kelayakan yang diatas ambang. Dinding-dinding yang kokoh, lampu-lampu bersinar seperti gemerlap berlian, barisan-barisan shaf yang rapih, taman-taman hijau dengan pohon perindang dan air mancur yang menghambur.

Ini hanya satu asumsi pribadi.

Bicara modal fisik, fakta diatas sebenarnya sudah cukup dirasa pantas menjadi daya tarik umat untuk hadir shalat berjamaah. Masjid sudah mampu memberikan keadaan yang diinginkan oleh jamaah, rasa nyaman yang akan menunjang kekhusu’an ibadah dan keinginan untuk kembali. Toilet bersih, parkir memadai, kawasan food court. Dan menjadikan tempat pertama yang dituju dalam keruwetan kerjaan dan tek-tek bengek hidup. Minimalkan ada perubahan mindset umat, bahwa tempat yang menenangkan ya Masjid, bukan bar, bioskop, mall, tempat karoke.

Kita ambil contoh, berdasarkan pengamatan tanpa metode ilmiah, bulan Ramadhan merupakan bulan dengan angka statistik pengunjung Masjid tertinggi dibandingkan Muharram, Syawal dan bulan lainnya. Pertama, faktor program keumatan dari DKM yang rerata lebih terfokus di bulan ini. Kedua, ada anjuran berlipat gandanya ganjaran atas ibadah di bulan Ramadhan apalagi di Masjid, sehingga ada alasan ‘mumpung Ramadhan’ yang dalam terjemahan Indonesiannya ‘Selagi Ramadhan’. Ketiga, ada faktor yang disalahkaprahakan dan dianggap candaan tapi menegaskan pembenaran, yakni tidur di bulan Ramadhan adalah ibadah. Kerja lemes dibilang karena efek puasa, dimaklumi, lalu cari tempat nyaman untuk tidur. Larinya, ya Masjid.

Oke lupakan tentang tidur, dilain waktu akan saya bahas tentang ini.

Nah, sebenarnya jika usul ini bisa diterima oleh pihak-pihak terkait, seharusnya program keumatan tersebut tetap apa adanya di bulan-bulan lain selain Ramadhan, tidak lantas mengikuti kemauan jamaah, yang pakai rumus ‘mumpung’-nya tadi hanya berlaku di Ramadhan. Ini bisa jadi variabel yang tetap mengikat kaki jamaah sehingga hatinya benar-benar tertarik dengan Masjid. 

Seperti majlis keilmuan, parenting islami bagaimana Rasulullah mendidik istri dan anaknya, pendidikan pra-nikah yang sangat diperlukan untuk membentuk keluarga yang utuh secara ekonomi, keilmuan dan agama, kajian siroh nabawiyyah agar umat tahu dan membenamkannya dalam hati bahwa perjuangan, sejarah islam dan nabi-nabinya lebih hebat dari heroisme amerika dan eropa dalam balutan layar twenty one.

Politik islam, siapa bilang di Masjid tidak boleh beraktivitas politik. Di masa Rasulullah, Masjid merupakan pusat kendali umat. Salah satunya, Nabi mempraktekan adanya aktivitas politik berdasarkan ketakwaan. Depolitisasi Masjid sejak keruntuhan kekhilafahan Turki Utsmani 1924, benar-benar sampai efeknya pada umat muslim di Indonesia. Masjid hanya sebagai tempat ibadah, tidak lebih.

Umat benar-benar telah kehilangan akal dan rasa malu sejak Masjid hendak dibangun, karena tidak ada rasa memiliki dan ikatan hati. Senjata mereka adalah saringan ikan, drum dan pengeras suara di tengah jalan. Bukan lagi pena dan lembaran kertas. Wajar jika pemikiran-pemikiran hebat sudah tidak terlahir lagi dari Masjid. Wajar jika ilmuwan yang mendominasi sekarang bukanlah produk asli generasi muda Masjid.

Ibadah wajib lima waktu di Masjid, hanya bergulir sebagai rutinitas. Takbir, Ruku, Sujud, Salam, Dzikir, Doa. Tak ubahnya aktivitas kantor. Tidak ada interaksi yang mengikatkan hati, sehingga ketika tidak hadir untuk berjamaah pada satu kesempatan, ada rasa malu luar biasa saat didatangai kerumah, ditanyakan kabar oleh jamaah lain. Ini, warisan Nabi yang hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun