Mohon tunggu...
Fajar Perada
Fajar Perada Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang jurnalis independen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah bekerja di perusahaan surat kabar di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jokowi Melawan Tekanan Internasional atas Hutan dan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

6 Maret 2019   12:38 Diperbarui: 6 Maret 2019   12:50 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi dan Kelapa Sawit | ekonomi.kompas.com

Sejak Soekarno diturunkan paksa, lalu diganti oleh pemerintahan orde baru, pengelolaan sumber daya alam Indonesia sama sekali tidak berdaulat. Sumber daya alam justru diobral kepada kroni dan sesiapapun pemilik modal, tak peduli dari dalam negeri atau asing. Sejarah ini dicatat dengan dikeluarkannya UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Sejarah juga mencatat, penggulingan Soekarno tak lepas dari campur tangan asing agar bisa mulus mengeruk kekayaan alam Indonesia. Soekarno yang "anti" modal asing pasca kemerdekaan memang menasionalisasi banyak perusahaan minyak dan perkebunan.

Catatan lain, era awal 1980 Indonesia mengalami booming investasi yang mengeruk minyak, bahan tambang dan kayu gelondongan sekaligus. Hanya dari kayu saja, hingga awal 1990-an, nilai ekspor kayu gelondongan diperkirakan mencapai nilai US$ 5 milyar. Sebuah angka yang cukup fantastis dan sangat menguntungkan karena untuk memperoleh kayu tidak memerlukan modal banyak. Beberapa kalangan bahkan menyebut nilai kayunya itu sendiri Rp. 0. Biaya yang dikeluarkan pemodal hanya untuk operasional dan biaya penebangan saja. Kayu-kayu bernilai tinggi sudah tersedia di hutan berusia ratusan tahun dan sangat diminati pasar Eropa yang telah kehabisan kayu akibat revolusi industri.

Untuk memanen kayu, kawasan hutan yang diberikan ke kroni dekat dan keluarga Soeharto diperkirakan mencapai luas 3 juta ha. Sayangnya, pasca kayu dipanen, tidak ada lagi penanaman bibit baru, meskipun telah ada panduan Tebang Pilih Tanam Indonesia yang dikeluarkan pada akhir 1980-an. Hutan-hutan yang telah dipanen kayunya hanya menyisakan pohon kecil dan bernilai rendah. Kebijakan dana reboisasi dekade terakhir Soeharto yang diperkirakan mencapai US$ 2,4 milyar, yang sebetulnya untuk memulihkan kawasan hutan yang telah dipanen kayunya, rupanya justru menjadi ajang bancakan keluarga dan kroninya. Salah satu kasus yang mencuat dan ramai dibicarakan adalah korupsi dana reboisasi sebesar Rp. 100 milyar oleh Probosutedjo yang merupakan adik Soeharto.

Selanjutnya, pasca kayunya dipanen oleh pemilik konsesi hutan, sebagian kawasan dikonversi menjadi tanaman sawit, yang dimulai dilakukan banyak pemilik lahan pada awal 1990-an. Sebagian lain merubah ijin perusahaannya menjadi pertambangan, setelah ditemukan bahan tambang cukup banyak dan bernilai ekonomi tinggi.

Tak ayal, hutan di Pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi wilayah jarahan besar-besaran, merubah bentang alam yang tadinya hijau, subur dan memiliki keanekaragaman hayati tinggi, berubah sepenuhnya. Industri kehutanan, perkebunan dan tambang banyak bermunculan di wilayah yang jauh dari pemukiman. Wajah alam Indonesia mengalami coreng moreng oleh hanya segelintir investor, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Pembabatan hutan dan pengrusakan alam berhenti sementara di periode 1998-1999, karena kondisi politik, dan resesi ekonomi yang ditandai inflasi sangat tinggi dan naiknya nilaai tukar dollar amerika hingga >800%. Kurs dollar yang sebelumnya di kisaran Rp. 2000-2500, berubah mencapai Rp. 20.000-an. Ditambah lagi, dikeluarkannya UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dianggap sangat membatasi ruang gerak industri yang melakukan usahanya di kawasan hutan. Di masa awal dikeluarkannya UU tersebut, industri di kawasan hutan sempat terhenti sejenak.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pada masa orde baru, Pemerintah dibuat lunglai, tak berdaya oleh tekanan asing dan pemodal besar.

Selanjutnya pada periode tahun 2000-2007, data resmi sektor kehutanan sangat terbatas dan banyak yang tidak akurat. Pencatatan sektor kehutanan mulai diperbaiki mulai tahun 2008 dengan dikeluarkannya statistik kehutanan, dimana tercatat luas hutan mencapai > 133,6 juta ha. Kemudian pada tahun 2015, statistik kehutanan mencatat luas hutan berkurang menjadi 120,7 juta hektar. Artinya pada periode tersebut, terjadi pengurangan luas hutan mencapai hampir 13 juta hektar.

Pengurangan luas hutan berbanding lurus dengan penambahan luas perkebunan sawit pada tahun 2015 yang tercatat seluas 11,3 juta ha (Ditjen Perkebunan). Hal ini yang kemudian diindikasikan bahwa pengurangan luas hutan sebagian besar diperuntukkan bagi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, hutan Indonesia yang kaya keanekaragaman hayati, mendapat tekanan dari dalam negeri dan dunia internasional. Tekanan politik internasional juga terkait dengan hutan Indonesia yang merupakan paru-paru dunia.

Dan sekali lagi, pasca reformasi pun Pemerintah tidak kuat menahan tekanan pemodal baik dari dalam maupun luar negeri.

Atas kondisi tersebut, Pemerintahan Jokowi sejak tahun 2015 mengambil sikap tegas dan berani, dengan menahan laju penambahan ijin perkebunan sawit baru. Bagi ijin lama yang telah ada, karena dilindungi aturan perundang-undangan, tetap diperbolehkan meneruskan usahanya. Moratorium bertujuan mengevaluasi perijinan serta meningkatkan produktivitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun