Mohon tunggu...
Epakartika
Epakartika Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tata Kelola Kolaboratif untuk Pesisir Indonesia

20 Mei 2018   13:25 Diperbarui: 20 Mei 2018   13:41 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus reklamasi di kawasan pesisir pantai di Indonesia, merupakan fenomena yang mencuat belakangan ini. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, menunjukkan bahwa setidaknya ada 34 lokasi reklamasi pesisir yang ada diseluruh Indonesia, dan sebagian besarnya tidak berizinan. Polemik seputar reklamasi Teluk Benoa Bali belum selesai sampai dengan saat ini. Keinginan sebagian masyarakat berbenturan keinginan investor yang menginginkan pemanfaatan Teluk Benoa untuk pengembangan wilayah properti dan pariwisata baru, ditengah keterbatasan ruang saat ini.

Demikian pula dengan Teluk Jakarta. Sampai dengan saat ini, kasus pembangunan pulau buatan masih merupakan isu yang hangat dan menjadi perdebatan. Sebagian menolak dengan alasan bahwa pembangunan pulau buatan tersebut telah mengancam ekosistem teluk, mematikan ruang kehidupan buat masyarakat nelayan, dan bahkan berbahaya bagi keberlanjutan Kota Jakarta. 

Sebagian lagi membenarkan bahwa reklamasi pulau merupakan satu-satunya cara untuk menyelematkan daratan Jakarta dari kenaikan muka laut, dan pastinya menyedakan ruang baru untuk pembangunan properti demi memenuhi kebutuhan papan masyarakat. 

Polemik tersebut seperti tidak berkesudahan sampai dengan saat in, bahkan melebar hingga pada isu politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Disisi lain, persoalan lingkungan akibat reklamasi telah memberikan dampak pada keberlanjutan ekosistem teluk dalam menopang pembangunan. Keberlanjutan pembangunan hanya akan terjadi jika keberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem Teluk Jakarta terjamin.

Selain reklamasi, penambangan pasir di kawasan pesisir terjadi dibanyak tempat di seluruh Indonesia. Sebut saja beberapa di antaranya seperti  penambangan pasir besi di Malang Selatan,  penambangan pasir laut di Lampung Selatan, Takalar, Pangandaran, Belawan, dan pantai Utara Banten. Penambangan pasir laut terbesar sampai saat ini masih terjadi di Kepulauan Riau dan pertambangan pasir timah di Kepulauan Bangka Belitung. 

Dampak dari aktivitas penambangan tersebut menyisakan kerusakan pada ekosistem pantai yang akhirnya menyebabkan abrasi, hilang atau rusaknyanya catchmen area dan nursery ground untuk biota laut,  serta rusaknya hutan mangrove yang menjadi sabuk alamiah untuk menjaga daratan dari hantaman gelombang dan kenaikan pasang laut.

Persoalan pemanfaatan kawasan pesisir terseut, telah menghadirkan dampak beruntun buat masyarakat. Seringkali ketika kawasan yang sudah menjadi daerah hunian masyarakat sejak turun temurun, terampas karena kehadiran para pengembang. Akibatnya konflik sosial pun terjadi. Hilangnya mata pencaharian nelayan karena rusaknya ekosistem laut menyulut protes yang berakhir konflik. Kehilangan mata pencaharian juga menciptakan jurang kemiskinan yang luas bagi masyarakat.

Dalam situasi demikian, kehadiran pemerintah seringkali dipertanyakan. Kepada pihak mana pemerintah berpihak? Untuk kepentingan siapa sebuah kebijakan diambil? Mengapa pemerintah tidak mempertimbangkan dampak sebuah kebijakan sebelum diambil? Dan seterusnya, pertanyaan yang menuntut peran pemerintah.  Cilakanya, dalam kasus-kasus konflik akibat reklamasi dan penambangan di kawasan pesisr, pemerintah justru tidak memberikan peran sebagai regulator. Bahkan pemerintah dianggap menjadi bagian dari penyebab konflik atau justru menjadi aktor konflik dengan tidak bersepakat satu dengan lainnya. 

Padahal sebagai pihak yang memiliki kewenangan pengelolaan negara, pemerintah memiliki hak "penguasaan" sebagaimana yang termuat dalam pasal 33 UUD 1945. Oleh Mahkamah Konstitusi, hak penguasaan tersebut diterjemahkan dalam sejumlah hak mulai dari pengaturan, pengelolaan, penyelenggaraan, perencanaan, monitoring, evaluasi, sampai dengan pembinaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, merupakan domain pemerintah.

Jawaban atas ketidakhadiran pemerintah dalam pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, disebabkan oleh sejumlah faktor yang kompleks. Beberapa hal yang menonjol sebagai pembenaran yakni keterbatasan kapastitas dan kompetensi para aktor pemerintah, keterbatasan anggaran, dan sejumlah hal klasik lainnya. Namun dalam pandangan penulis, persoalan mendasar ketidakhadiran pemerintah dalam persoalan sumberdaya alam karena sejumlah hal.

Pertama, seringkali kebijakan pemerintah lahir dengan nuansa conflict of interest yang kental. Sebuah izin pemanfaatan sumberdaya alam diberikan kepada kroni, walaupun secara teknis dan sosial, izin tersebut tidak layak untuk diberikan. Bisa jadi pemberian izin tersebut dilakukan karena ada imbalan material atau keuntungan lain yang diberikan oleh penerima izin kepada pemberi izin. Kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD DKI Jakarta terkait dengan reklamasi di Teluk Jakarta menunjukkan hal demikian. Kedua, dalam pelaksanaan sebuah kebijakan ego sektoral dan ego kewenangan dari setiap tingkatan pemerintahan , terlihat nyata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun