Mohon tunggu...
Enok Ratnayu
Enok Ratnayu Mohon Tunggu... Guru - Guru

Enok Ratnayu seorang ibu rumah tangga yang juga seorang guru. Tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan, religi, psikologi, filsafat, sastra, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memperingati Hari Santri 22 Oktober 2023

22 Oktober 2023   14:29 Diperbarui: 22 Oktober 2023   14:31 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MEMPERINGATI HARI SANTRI 22 OKTOBER 2023
(DALAM SEBUAH KENANGAN TENTANG TIGA MUTIARA CINTA)

Ditulis oleh: Enok Ratnayu

Setiap memperingati Hari Santri, saya selalu teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika kami akan memasukkan putra-putri kami, tiga mutiara cinta kami ke pondok pesantren.

Tidak bisa dipungkiri memang, pandangan masyarakat terhadap pondok pesantren masih beragam; bahkan sampai sekarang ada yang masih memandang sebelah mata.

Tiga mutiara cinta kami adalah santri Pondok Pesantren Tebuireng, dan kami sangat bersyukur diberi kesempatan oleh Alloh untuk bisa menitipkan mereka di pondok pesantren besar yang memiliki sejarah perjuangan bangsa yang sangat hebat.

Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bagaimana perjuangan keluarga kami ketika memutuskan memondokkan mereka.

Keluarga kami adalah keluarga kecil sederhana yang tinggal di perumahan sangat sederhana di wilayah Singosari Malang Jawa Timur. Kami perantau. Abinya anak-anak seorang anggota TNI dan saya sendiri seorang guru PNS di sebuah SMK. Anak kami tiga orang yaitu Ainun Qisthi Rosyidah yang lahir pada tanggal 22 Agustus 2001, Dhiya Ulhaqq Al Aziz lahir 8 Agustus 2004, dan Silmy Aulia Ghina Rizqi Mubarokah lahir 20 Mei 2008. Tak ada sanak saudara di sini, karena keluarga besar kami semua berada di Sumedang Jawa Barat. Namun di sini kami menemukan banyak keluarga yang baik, teman, sahabat, kerabat, yang tidak harus ada aliran darah langsung, namun kami bersaudara karena kami satu akidah Islam dan sama-sama sebagai bagian dari NKRI. Jadi kami tidak pernah merasa sendiri, sekali lagi kami sangat bersyukur kepada Alloh SWT.

Tahun 2013, putri pertama kami, Ainun masuk Ponpes Tebuireng. Alhamdulillah semua proses berjalan lancar. Ainun hampir tidak memiliki hambatan ketika kami antar ke pondok. Hal ini, salah satunya karena kami sudah mempersiapkan Ainun sejak TK. Kami sudah menyampaikan bahwa ketika Ainun SMP-SMA akan bersekolah di pondok pesantren.

Tantangan justru muncul dari guru SD Ainun. Suatu saat wali kelasnya bertanya kepada semua murid tentang cita-cita mereka dan rencana sekolah yang dituju setelah lulus SD. Waktu itu Ainun dengan pedenya menjawab bahwa dia setelah lulus SD akan melanjutkan ke pondok pesantren. Reaksi tak terduga muncul dari ibu guru tersebut, "Apa Ainun? Mau mondok? Kok anak sepintar kamu mondok? Sayang!" Sepulang sekolah Ainun cemberut dan sejak itu tidak respek lagi kepada ibu gurunya. Yah ... namanya anak kecil. Selama ini Ainun kami persiapkan untuk masuk pondok, bahkan sampai mengundang guru ngaji ke rumah,  yang akhirnya karena anak tetangga ikut juga, kami buka pengajian anak-anak dengan meminjam rumah teman yang belum ditempati karena santrinya hampir 50 orang; tentu saja tidak muat di rumah kecil kami yang hanya tipe 36.

Tantangan selanjutnya datang juga dari tetangga, teman seprofesi abinya Ainun yang kebetulan anaknya seumuran dengan Ainun. Beliau sempat menghasut abinya Ainun yang waktu itu mendapat tugas di Kalimantan Utara, jadi tidak selamanya di rumah. Beliau bertanya, "Emangnya Ainun mau jadi apa dimasukkan pondok? Mending ke sekolah negeri. Apalagi anaknya pintar. Nanti bisa masuk perguruan tinggi negeri dan mendapat karir yang bagus." Rupanya abi Ainun sempat termakan hasutan tersebut, beliau mengatakan bahwa setelah tamat SMP, Ainun pindahkan ke SMA negeri saja di Kota Malang. Bisa berangkat dari rumah, bisa lebih hemat, kemampuan akademiknya lebih terlatih sehingga bisa masuk perguruan tinggi negeri.

Seribu alasan saya sampaikan kepada abi Ainun, tentang keunggulan pondok pesantren dalam pembentukan karakter, pembekalan ilmu agama, keunggulan akademik (kebetulan waktu itu Ainun di SMP AWH Tebuireng mengikuti dua kurikulum yaitu kurikulum nasional Indonesia dan Cambridge), bahkan sampai hitung-hitungan rupiah membandingkan SPP pondok dengan biaya bila Ainun bersekolah di SMA negeri di Kota Malang yang harus ada ongkos dan uang saku harian. Alhamdulullah, akhirnya abi Ainun paham dan sampai lulus SMA Ainun tetap berstatus Santri Tebuireng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun