Mohon tunggu...
Erni Pakpahan
Erni Pakpahan Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan Swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film Sonita Tayang dalam "Jakarta Film Festival and Forum On Human Rights"

2 Desember 2016   17:44 Diperbarui: 2 Desember 2016   17:59 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi Film Sonita | Dok. Pribadi

Ada dua film yang ditayangkan dalam acara ini “Jakarta Film Festival and Forum On Human Rights”, yaitu Disruption dan Sonita. Kedua film ini diputar beriringan pada tanggal 26-27 November 2016 pukul 2 pm-5pm di Goethehouse. Saya yang mendapat ajakan tiba-tiba ini pun langsung mengiyakan saat sahabat mengajak. Belum lagi disana akan hadir Om Piring, salah satu penulis idolanya.

Bersama dua orang teman, kami akhirnya dapat menyaksikan film Sonita ini, tepatnya hari Minggu, 2pm-5pm. Acaranya “free entry” alias bisa menonton gratis. Film kisah nyata ini bercerita tentang seorang anak gadis Afghanistan yang mengungsi di Iran dengan cita-cita menjadi seorang Rapper. Sebagai gadis Afghanistan, Sonita dihadapkan pada tradisi “harus menikah” pada usia muda. Keluarganya akan menjualnya pada pria sehingga mereka mendapatkan uang.

Menikah dalam usia muda mereka percayai juga untuk membantu perekonomian keluarga. Belum lagi, abangnya yang ingin menggunakan mahar/hasil penjualan Sonita untuk membeli wanita menjadi istrinya. Tetapi Sonita, gadis muda yang lebih memilih menjadi anak Michael Jakson dan Rihanna dalam film ini bersikeras tidak ingin menikah dalam usia muda. Soalnya, dia sangat yakin suatu saat dia dapat menjadi Rapper. Sonita bercita-cita melalui lagu yang dia bawakan dia dapat menyampaikan aspirasinya  tentang tradisi yang dia hadapi.

Agak mustahil memikirkan Sonita bisa menggapai mimpinya. Sonita tinggal di tengah masyarakat yang melarang wanita untuk bernyanyi. Sayangnya dia wanita keras kepala, Sonita terus mencoba dan mencoba. Singkat cerita, melalui  berbagai usaha berat karena harus melawan keluarga dan tradisi, Sonita pun menggapai mimpinya.

Lagu rap berisi penolakannya tentang menikah di usia muda atau “menjual anak” akhirnya dapat dia sampaikan dan didengar banyak kalangan. Pesan dalam lagu serta suaranya yang merdu mempesona para pendengar. Berbagai dukungan dia peroleh dalam pesannya di youtube dan kalau tidak salah dia memenangkan suatu pertandingan. Mudah-mudahan saya tidak gagal paham karena teksnya dalam bahasa inggris—kalau begitu ada baiknya tonton sendiri aja. Hahaa.

Saat mendebarkan ketika Sonita harus kembali ke Iran tempat asalnya. Tempat dimana keluarganya sangat mengharapkan dia kembali untuk segera dinikahkan kepada pria setempat. Dia harus kesana untuk mendapatkan surat-surat sehingga dia bisa mengurus paspor dan visa.  Sonita mendapatkan beasiswa belajar di Amerika!  Cerita ini tentunya tidak sedatar yang saya tuliskan. Berbagai macam rasa dapat dimunculkan oleh film ini. Ada lucu, sedih, haru dan menegangkan. Lucu karena dia selalu bilang kalau ada “uang” orangtuanya akan setuju.

Tak hanya menonton saja, oleh tiga orang aktivis perempuan dan anak beserta seorang penulis mengenai wanita (Om Piring) film ini kemudian dibedah melalui diskusi. Sesuai dengan tema di atas diskusi dari sudut pandang hak manusia, secara khusus hak anak. Dan memang filmnya mengangkat tentang hak asasi manusia.  Sesuai dengan kondisi di luar, negara kita pun kerap terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Saya menyoroti anak saja karena Sonita adalah seorang anak perempuan dan diskusi lebih banyak membahas tentang anak.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Ada beberapa poin pesan yang saya dapatkan setelah mengikuti kegiatan ini:

Satu, kita sebagai warga negara wajib melindungi semua anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh negara kita.

Dua, menikah dalam usia belia bukanlah solusi menopang perekonomian keluarga. Dalam sedikit kasus mungkin bisa terjadi. Anak yang telah menikah lalu bekerja bermodalkan pengalaman dan pendidikan yang dia miliki kalau dipikir-dipikir susah juga, ya.

Tiga, menikah dalam usia anak akan membahayakan kesehatan. Logikanya, menikah dalam usia anak (0-18 tahun) dengan kondisi masih belum matang, membutuhkan gizi untuk dirinya, dan belum bisa merawat anak dengan baik ini akan mengganggu perkembangan dirinya dan anak yang akan dilahirkannya nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun