Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Istri Bankir Itu Kedapatan Selingkuh dengan Brondong

16 Mei 2020   12:00 Diperbarui: 16 Mei 2020   11:57 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak pandemi virus Corona terjadi di Indonesia, praktis kondisi ekonomi negara ini tidak baik-baik saja. Semua kena dampak. Dari gaji yang tidak utuh lagi, sampai tidak bisa lagi bekerja. Jangankan yang selama ini menengah ke bawah atau pas-pasan, mereka yang pengusaha pun nafasnya kini agak ngap-ngapan. Lantas, apa sebenarnya hikmah di balik pandemi ini?

Salah satu hikmah penting menurut saya adalah soal riba. Berapa tahun terakhir, kampanye soal riba cukup gencar. Namun nyatanya, tak mudah membuat orang sadar hingga bertobat. Meski ayat dan dalilnya sudah jelas, nyatanya riba tetap ada di mana-mana.

Dulu, saya termasuk pelaku riba. Sebagai wartawan, saya cukup lama liputan di desk ekonomi. Nah, selama berada di pos liputan ekonomi, praktis saya banyak bergaul dengan para bankir. Akibatnya, mendengar kata kredit adalah hal biasa. Setiap saat, saya selalu bertanya, berapa kredit yang dikucurkan, berapa kredit tidak lancar, termasuk himpunan dana masyarakat. Khatam rasanya dengan istilah-istilah perbankan.

Ketika itu, saya kenal baik dengan kepala salah satu bank. Saya bahkan pernah berkali-kali dibujuk dan ingin direkrut sebagai pegawai bank tersebut. Saya bergeming. Bagi saya, menulis atau menjadi wartawan sudah sangat mendarah daging. Tak bisa membayangkan rasanya duduk di balik meja berjam-jam, sementara sebagai wartawan lebih suka keluyuran.

Oleh kepala bank itu, saya bahkan pernah diberi kuliah singkat. Satu yang saya masih ingat adalah, kredit itu sama halnya menabung. Bedanya, hasilnya diambil duluan. Nabungnya belakangan. Doktrin itu cukup ampuh menembus pikiran bawah sadar saya. Ditambah ketika itu, pernah liputan dan mengikuti seminar dari salah satu pengusaha bimbingan belajar dengan tagline Hutang itu Mulia.

Maka, pikiran bawah sadar saya sudah punya program otomatis, kredit itu sama dengan menabung. Jadi, ketika mendengar kata riba, jelas tidak masuk ke pikiran bawah sadar. Belief atau keyakinan yang tumbuh lebih dulu adalah, kredit sama dengan menabung. Apalagi ide itu disampaikan seseorang yang ketika itu sangat sukses. Termasuk kepala bank yang ketika itu hidupnya sangat luar biasa. Rumah dan mobil mewah, semua berlimpah.

Saya pun termasuk yang ‘tidak perduli’ dengan kata riba. Konsepnya jelas, ini sama dengan menabung. Bedanya, hasilnya diambil duluan. Nabungnya belakangan. Jadilah saya membeli mobil, dan rumah secara kredit. Satu lagi, saya mengoleksi kartu kredit dari beberapa bank. Namanya kenal banyak kepala bank, tidak sulit mendapat fasilitas kartu kredit. Akibatnya, mudah sekali menggesek si kartu setiap membeli barang. Toh nanti bisa bayar.

Belief atau keyakinan saya soal kredit sama dengan menabung, lama-lama akhirnya bobol dengan masifnya artikel yang membahas soal riba. Termasuk banyaknya ustaz yang membicarakan soal ini. Lebih kuat lagi, ketika sebagai hipnoterapis klinis, saya menemukan banyak fakta klien yang sulit berusaha, ternyata karena ada beban mental akibat riba.

Salah satu cara menembus pikiran bawah sadar adalah dengan repetisi. Maka banyaknya pembahasan soal riba termasuk contoh kasus dari beberapa klien yang saya terapi, membuat keyakinan soal kredit sama dengan menabung, benar-benar kikis.

Perlahan saya menanamkan ke dalam pikiran bawah sadar, bahwa riba harus dihindari, termasuk harus dihentikan semaksimal mungkin. Pertama, menghubungi semua bank untuk berhenti menggunakan kartu kredit. Semua terlunasi, dan semua kartu berhasil terbelah dengan gunting. Ingin melunasi rumah, tapi nyatanya dipersulit. Tetap harus membayar bunganya, tidak bisa hanya pokoknya. Ya sudah, yang penting niat menyelesaikan, pasti diberikan kemudahan sampai selesai nantinya.

Maka, saya perkuat ‘magnet rezeki’ di dalam diri agar semakin mudah menyelesaikan semuanya. Di tengah jalan sempat ada ‘godaan’, ketika tiba-tiba fasilitas mobil kantor ditarik. Ada rasa ingin mengambil mobil lagi secara kredit. Beruntung, bagian diri saya yang bijaksana tetap mengingatkan. “Pakai motor saja kan bisa. Tanpa mobil hidup tidak kiamat kok,” kata bagian diri yang bijak. Maka, saya pun membeli motor bekas, dan kembali menikmati hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun