Mohon tunggu...
Endi Biaro
Endi Biaro Mohon Tunggu... profesional -

Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

MPR, DPR, dan Keperkasaan Media

9 Oktober 2014   01:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:49 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nyaris tanpa jeda, ruang publik dan ruang media (mainstream dan sosial) menggerojok memori khalayak dengan informasi politik.

Hampir-hampir saja sejumlah gelintir masalah penting terabaikan saja. Padahal, bila memakai ukuran NKAB (nilai kadar aktualitas berita), beberapa perkara non politik yang sepi dari ekspose media adalah urusan yang terbilang perlu. Terkait harga diri bangsa (peraihan medali emas Cabang Bulutangkis di Asian Games), masalah ketahanan dan pertahanan (perayaan HUT TNI), dan isu korupsi (penangkapan Gubernur Riau oleh KPK).

Praktek total exposure (publikasi tanpa henti) oleh media ini, tentu saja bisa dimengerti dengan cara gampangan. Semisal menyebut adanya perkawinan antara media dan politik, untuk menghegemoni wacana publik. Orang bisa mengatakan, politic driven by media, politik ditunggangi media (atau malah sebaliknya). Atau dengan mengulang-ulang teori usang, bahwa media perkasa dalam melakukan agenda setting (pengaturan isu oleh media).

Namun ada gejala spesifik yang terjadi belakangan ini, terkait demam politik yang begitu tinggi. Nampak jelas, bahwa khalayak luas sendiri menciptakan kreasi dan berpartisipasi aktif dalam menggeber pelbagai reproduksi isu politik.

Isi otak khalayak, pikiran, dan juga kejengkelan mereka terfasilitasi secara nyaman via media sosial. Publik kemudian terlihat rewel dan gaduh. Tak henti berkicau, mengolok-olok, juga menghina kelompok tertentu. Sampai-sampai, seorang petinggi negeri merasa jeri, dan dipermalukan di dalam dan di luar negeri.

Bahasa termudah yang bisa disebut adalah: telah lahir ledakan partisipasi bermedia. Di masa lalu, terutama tatkala fajar reformasi menyembul, ledakan partisipasi meruyak dalam variasi aksi, demo, pemogokan, boikot, atau huru-hara. Atau dalam bentuk keikutsertaan dalam forum-forum politik, pertemuan publik, dan pengorganisasian politik (ingat, beberapa tahun lewat, ada begitu banyak partai, LSM, dan organisasi massa yang aktif berpolitik).


Hari ini, ledakan partisipasi itu bertiwikrama dalam wujud non fisik. Mereka berhasil menciptakan episteme baru, yaitu agregasi isu. Namun agregasi isu ini bukan dalam pengertian mewadahi keragaman isu dalam konsep akademik. Melainkan "memadatkan" keragaman pikiran khalayak untuk disatukan dalam kata kunci tertentu.

Itulah yang terjadi, misalnya, dalam penyebaran hastag (#), trending topic, atau petisi-petisi elektronik (seperti dalam change.org).

Tiap-tiap terjadi momen politik tertentu, publik luas memantau, lalu ramai-ramai membuat "kata kunci" untuk diletupkan via media sosial. Cara ini sepadan dengan watak publik moderen, yang ingin gampang, cepat, tak bertele-tele. Maka kemudian yang bertabur adalah slogan, yel-yel, dan pernyataan-pernyataan seragam.

Barangkali itu adalah semangat zaman (zeitgeist) terbaru. Tetapi selalu ada titik lemah. Seperti yang terjadi dengan metode partisipasi publik di masa silam. Takashi Siraishi, dalam buku Zaman Bergerak (Grafiti, Jakarta, 1997), pernah menampilkan betapa rakyat Indonesia pernah mengalami demam aksi. Rakyat di pelbagai pelosok bergairah mengikuti pidato-pidato umum, ikut dalam pemogokan, berani melakukan boikot, dan di zaman itu bahkan ada tokoh yang disebut sebagai Raja Mogok (yaitu Soerjopranoto).

Bisa disebut itulah trend partisipasi politik rakyat (kaoem repoeblik) di era perjuangan kemerdekaan. Sebagai sebuah tren, selalu ada pasang surut. Jadi titik lemahnya ada di situ. Demikian pula dengan antusiasme publik terkini, yang meletup-letup dalam ledakan partisipasi bermedia. Selain akan mengalami pasang surut, juga akan mudah dipatahkan sejauh "pihak" yang menjadi objek serangan mampu melakukan counter. Kalaupun tidak surut karena dua hal itu, masih ada peluang pelumpuhan tren partisipasi ini, yaitu mengalami sejumlah kegagalan. Ingat hukum modernitas, selalu ada sesuatu yang baru...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun