Mohon tunggu...
Enang Suhendar
Enang Suhendar Mohon Tunggu... Administrasi - Warga sadarhana yang kagak balaga dan gak macam-macam. Kahayangna maca sajarah lawas dan bacaan yang dapat ngabarakatak

Sayah mah hanya warga sadarhana dan kagak balaga yang hanya akan makan sama garam, bakakak hayam, bala-bala, lalaban, sambal dan sarantang kadaharan sajabana. Saba'da dahar saya hanya akan makan nangka asak yang rag-rag na tangkalna.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pekik Takbir dari Radio Itu adalah Suara Sutomo

10 November 2019   06:20 Diperbarui: 10 November 2019   06:23 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Tomo (indozone.id)

Langit Surabaya dihiasi lembayung senja, mentari mulai bergeser ke ufuk barat menyudahi tugasnya bagi semesta. Sementara itu masyarakat kota Surabaya mulai selesai dari aktifitasnya, dan bak semut mengerubungi gula, mereka serempak menuju tiang-tiang pengeras suara di seantero Kota Surabaya. Stasiun penerima radio diputar pada gelombang 34 meter, beribu pasang telinga disiapkan untuk mendengarkan orasi yang berapi-api dari stasion pemancar Radio Pemberontakan.

Adalah Sutomo, lelaki muda yang masih berusia 25 tahun, yang menyebarkan virus-virus perjuangan melalui gelombang frekuensi radio. Dia tidak sedang memerangi penjajah dengan dentuman senapan, bidikan bedil, atapun dentuman meriam. Namun dia membangkitkan perlawanan rakyat dengan cara yang kekinian pada zamannya, berorasi pada corong radio.

Nyaris setiap hari, pukul setengah enam sore, suara Sutomo yang akrab disapa Bung Tomo bergelora pada gelombang Radio Pemberontakan, sebuah pemancar radio yang di ciptakan sendiri bersama teman-teman seperjuangannya. Dan suara itulah yang selalu ditunggu-tunggu oleh arek-arek Suroboyo.

Suaranya lantang, kata-katanya memikat, pekikannya menggema, takbirnya membahana, orasinya menggetarkan dan teriakannya menggelegar seakan menebarkan energi pada setiap pendengar setianya. Bung Tomo sedang memprovokasi rakyat bahwa perjuangan melawan penjajah bukan saja tanggung jawab laskar-laskar pemuda pemanggul senjata. Dia ingin mempersatukan seluruh elemen bangsa menghadapi kolonialiasme dan imperialisme.

Bung Tomo yang selalu mengawali pidatonya dengan kalimat Basmallah, berhasil mempersatukan simpul-simpul bangsa. Gema takbir Bung Tomo bak api yang membakar semangat, melecut energi, menggugah kesadaran, memantik jiwa patriotisme melalui gelombang radio. Seluruh kalangan tersadar, rakyat biasa, petani, pedagang, santri, ulama, kiai tersulut untuk bahu membahu dalam medan laga pertempuran di Surabaya.

Jadilah pertempuran di Surabaya dikenal menjadi medan tempur yang paling besar dan paling dasyhat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebanyak enam belas ribu putra kesuma bangsa gugur sebagai pejuang, dan setidaknya dua ribu pasukan musuh terbunuh. Tidak berlebihan kiranya pemerintah menetapkan tanggal 10 November 1945 sebagai Hari Pahlawan.

Dan tidak afdhol rasany apabila kita mengenang pertempuran 10 November tanpa membicarakan kiprah Bung Tomo, pemuda yang berprofesi sebagai Wartawan pada Kantor Berita Domei. Bung Tomo dinilai berhasil menghidupkan perlawanan dan semangat revolusi pada setiap relung jiwa. Suara Bung Tomo pada gelombang radio tersebut tidak hanya mengudara di Surabaya, namun juga sampai bergaung hingga Yogyakarta. Sejak pidatonya menggema kemana-mana, beberapa laskar pemuda dan kelompok pejuang bersenjata dari luar Surabaya, berbondong-bondong memasuki Surabaya dan bersama arek-arek Suroboyo bahu membahu mengusir penjajah dari tanah air.

Bagaimana kita ingat sepenggal pidato Bung Tomo sehari sebelum pertempuran 10 November: "Selama benteng-benteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapapun juga ... Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!"

Betapa suara Bung Tomo menggelegar bak petir menyambar setiap pendengar, membuat darah perjuangan mendidih dan semangat pertempuran membuncah. Perjuangan Bung Tomo mendirikan Radio Pemberontakan tidaklah mudah, pun demikian ketika Bung Tomo berpidato secara live pertama kalinya di radio. Keringat menetes dan peluh membanjiri sekujur tubuh pemuda yang dilahirkan pada tanggal 3 Oktober 1920 tersebut.

"Aku lupa bahwa aku sedang berada sendirian di dalam studio. Seolah-olah di hadapanku ada beribu-ribu, bahkan puluhan ribu orang yang mendengarkan pidatoku. Seakan-akan para pendengarku itu seorang demi seorang kudekati dan kupegang bahunya, kuajak waspada, bersiap menghadapi bahaya yang menghadang. Tak dapat kulukiskan betapa gembiranya hatiku ketika aku selesai membaca. Hampir tak kubersihkan peluh yang membasahi wajahku, kalau tidak ada kawan yang memperingatkan akan hal itu," ucap Bung Tomo.

Atas jasanya, pemerintah kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sutomo yang di teken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 November 2008, 27 tahun berselang setelah Bung Tomo wafat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun