Mohon tunggu...
Sosok

Joko Widodo dan Iradah Allah

22 April 2019   15:43 Diperbarui: 22 April 2019   16:22 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"... dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Lauh Mahfudz". Demikian terjemahan surah Al-An'am 59 yang menjelaskan kepada kita semua bahwa tiadalah suatu kejadian di atas bumi ini, melainkan atas izin-Nya semata.

Joko Widodo, Presiden RI 2014-2019, lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 21 Juni 1961, dari keluarga sederhana pasangan Noto Mihardjo dan Sudjiatmi, Joko Widodo kecil hidup sederhana dengan tempaan hidup yang keras. Berjalan kaki ke Sekolah adalah kegiatan rutinnya setiap hari sementara kawan-kawannya sudah bersepeda. 

Untuk mendapatkan uang jajan Jokowi kecil harus mencari sendiri dengan berdagang, mengojek payung, atau menjadi kuli panggul. Pada usia yang relatif masih muda, 12 tahun, Jokowi kecil mulai bekerja sebagai tukang gergaji kayu. Bakat bertukang kayu diwariskan oleh ayah beliau. Demikian dia menjalani hidup dengan segala keterbatasan hingga lulus dari Fakultas  Kehutanan Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan menjadi pengusaha meubel.

Atas izin Allah Azza Wa Jalla pada tahun 2014 seorang anak tukang kayu Joko Widodo terpilih menjadi orang no 1 di Indonesia. Presiden RI yang ke-7. Akan kah hal ini terjadi dengan sendirinya? Tentu tidak, karena sebagai seorang muslim kita yakin bahwa semua ini terjadi atas izin Allah Azza Wa Jalla. Tidak ada satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan. Dalam surah Ar-Ra'd 2 : ".......Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya).......".

Sebelum menjadi presiden, Joko Widodo pernah menjadi Walikota Surakarta (Solo) pada tahun 2005-2012; lalu menjadi Gubernur DKI pada tahun 2012-2014, dan selanjutnya menjadi Presiden RI pada tahun 2014 hingga 2019 saat ini. Pada saat ini sebagai incumbent (petahana), beliau ikut dalam kontestasi pemilihan presiden untuk periode 2019-2024.

Selama menjabat sebagai walikota Solo, gubernur DKI, maupun sebagai presiden RI, dengan ketegasan dan konsistensi-nya beliau banyak mengambil langkah-langkah besar, yang sedikit  banyak mengganggu/ bersinggungan dengan zona nyaman sebahagian politikus dan atau pengusaha yang bermental menggerogoti bangsa sendiri. Mengunah Solo menjadi Kota Budaya, melanjutkan MRT Jakarta yang mangkrak puluhan tahun, pembubaran Petral, akuisisi blok Rokan, dan Freeport adalah sedikit contoh keberhasilan beliau semasa jadi walikota, guberbur, dan presiden.

Diakhir lima tahun pertama masa jabatannya sebagai presiden, gelombang hujatan, hinaan, pelecehan menerpa beliau, baik sebagai kepala negara maupun sebagai pribadi. Kebijakan-kebijakan beliau ---yang dilakukan secara terukur)--- membangun infra struktur (jalan tol, airport, jalan desa, tol laut, tol langit, dll), dana desa, kurs, kebijakan ekonomi, penggunaan dana haji, utang luar negeri, dll, mendapat kritikan dari lawan-lawan politik beliau dan atau orang-orang yang terbangun dari zona zamannya. Namun demikian beliau tetap istiqamah dan konsisten menjalankan fungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang adil dan bersih.

Hujatan terhadap pribadi beliau juga seperti gelombang tsunami yang tiada henti sampai detik-detik akhir pencoblosan hari ini. Isu PKI, agama, antek asing, antek aseng, kafir, larangan adzan, kriminalisasi ulama, krempeng, planga-plongo, dungu, cebong, sinting, alfateka, pencitraan, dll, menghiasi dunia maya dan dunia nyata di negara ini. 

Sungguh suatu yang melelahkan dan membuat muak sebahagian masyarakat lainnya. "Perpecahan" dan atau saling nyinyir terjadi dimana-mana, di kantor, sekolah, kampus, bus, warung kopi, warung makan, dan tempat lainnya. Tukang becak, tukang parkir, sopir taxi, doktor, professor, guru, dan semua lapisan masyarakat ikut berdebat. Bahkan segelintir (yang katanya) ulama ---yang seharusnya memberi ketenangan  ditengah masyarakat, justru ikut memprovokasi dan memperkeruh keadaan dengan ikut berpolitik praktis. Pro dan kontra sudah pasti terjadi dalam perdebatan itu.

Namun beliau dengan kebersahajaannya seolah olah tidak perduli dan mengabaikan itu bagai peribahasa biarkan anjing menggonggong, kafilah terus berlalu. Ya, beliau terus berlalu (bekerja) diantara "gonggongan" (hujatan, hinaan, dan pelecehan). Atau mungkin beliau sedang memainkan peran sebagai singa yang tidak akan menyahuti gonggongan anjing, seperti kata Imam Syafi'i? walahu a'lam.  

"Silahkan hina diriku sepuas kalian aku akan tetap diam saja. Bukan aku tidak punya jawaban tapi singa selalu tidak akan membalas gonggongan anjing" (Imam Syafi'i)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun