Dasar Samijan, disuguhi makanan mewah di ruang tamu lidahnya masih  pilih-pilih. Inikan sedang bertamu, sebaiknya menghormati tuan rumah, pura-pura lahap saja gak masalah.
Jangankan itu, diundang walimah (pesta pernikaan) saja kalau sedang berpuasa sunnah malah lebih baik dibatalkan puasanya, kata Kyai begitu. Pertimbanganya ya cuma ingin menghormati orang lain yang  punya hajat. Kalau puasa sunnah itu kan untuk pribadi, sedangkan menghadiri walimah dan menyantap hidangan tuan rumah itu untuk orang lain. Mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan orang lain itu mulia.
Samijan itu sok alergi saja, padahal makanan di kampungnya itu sebelas dua belas dengan makanan kambing perliharaannya. Tapi Samijan mengelak, ia menjelaskan dengan seksama bahwa ini bukan masalah makanan mewah atau bukan, ini masalah lidah. "Lidah saya tak bisa menerima sembarangan makanan", ucap Samijan.
Bula (teman Samijan) begitu lahap menyantap hidangan di atas meja itu. Samijan sedikitpun tidak tertarik walaupun sirene di perutnya bolak-balik berbunyi. Akhirnya mereka berdua pulang dengan kondisi perut yang berbeda. Bula sambil menghisap rokok Eropa pulang dengan perut kenyang. Samijan sebaliknya, ia masih terbayang terasi kampungnya sedangkan perutnya lapar.
Bula berpikir bagaimana caranya merangsang nafsu makan Samijan. Setelah sampai rumah, dimasaklah tumis terong untuk samijan. Masakan itu direkayasa sedemikian rupa agar  sesuai dengan lidah Samijan. Cukup lama Bula di dapur dan setelah makanan siap, disuguhkanlah kepada Samijan. Bula meyakinkan, "makan itu!, pasti pas dengan selera kamu, itu sudah saya beri terasi!. Dengan lahapnya Samijan menyantap masakan Bula.Â
Akhirnya, Bula berhasil mengelabui Samijan, sisa kepala ikan yang dibawa Bula dari rumah temannya itu ia tumbuk halus dan diaduk ke dalam masakannya. Aneh-aneh saja Samijan mencari terasi di Eropa!.