Mohon tunggu...
Muhammad Hambali
Muhammad Hambali Mohon Tunggu... Dosen - Writing rhythms of the universe.

Philosophy, Culture, Philology, and Wisdom.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Lidah Mengota

25 Januari 2020   16:16 Diperbarui: 25 Januari 2020   16:15 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Ada dusun bernama Karang Telo. Dusun ini lokasinya sangat jauh dari keramaian. Katakanlah seperti Makkah di zaman dulu yang tak memiliki daya tarik bagi para penjajah. Begitu juga Karang Telo ini, siapa yang ingin mengunjunginya apalagi bertempat tinggal di sana. Tempat yang sangat tak bisa membuat penghuninya berperadaban maju dan sejahtera, ini kata penghuninya sendiri sebagai protes terhadap pemerintah yang tidak adil.

"Masak, di sini tidak diperhatikan nasib warganya. Mereka para pejabat desa ngapain aja setiap harinya. Apa tidak makan gaji buta begitu tu!", ucap Misno tokoh pentolan Karang Telo. "Sudah saya surtei (maksudnya survei) ke semua tempat, tapi gak separah tempat saya ini!", kata Misno. Sambil memegang rokok lokal itu Misno sampai terlihat otot lehernya karena cintanya kepada kampungnya sendiri. Ini semacam nasionalisme seorang pariot kepada tanah airnya. Misno sangat berharap nasib warga kampungnya bisa sederajat dengan kampung yang lain.

Makkah baru disinggahi para kafilah setelah Ismail menjadi perantara munculnya sumur zam-zam. Semakin hari Makkahpun semakin ramai, bahkan Bani Makhzum memutuskan tinggal di area tersebut. Ismail layak diangkat sebagai juru kunci Makkah karena ia mampu mengangkat derajat kampungnya di mata para kafilah.

Siti sudah tekad untuk merantau ke Ibu kota. Ia satu-satunya anak Karang Telo yang berkarier di Ibu kota, sungguh sesuatu yang membanggakan penduduk kampungnya terutama Misno. Setelah bertahun-tahun lamanya ia tinggal di kota, minggu ini terdengar kabar bahwa ia akan pulang kampung. Misno dan warga lainnya sudah merindukan dan tak sabar ingin mendengar cerita kesuksesannya di kota.

Siti yang dulunya kampungan sekarang sudah berubah. Dia sudah kaya, rumah di kampungnya sudah mengungguli rumah-rumah tetangganya. Penampilannya yang serba mewah membuat Misno pangling dan  membuat orang lain agak-agak segan. Tapi Misno tak ragu menyapanya, karena bagi Misno adalah suatu kebanggaan, seorang putri daerah mampu dan berhasil berkarier di Ibu Kota.

Suatu hari Siti hendak keluar rumah. Dengan bahasa daerahnya, Misno menyapa Siti, "dekma'ah Ti?" (mau kemana Ti?).  Siti yang berkacamata hitam itu terkejut karena ia kira tidak ada orang di jalan setapak belakang rumahnya. "Oh, Bapak!, kaget banget Pak, gua kira gak ada orang!", sahut Siti. Misno kembali bertanya, "dekma'ah be'en Ti?" (mau ke mana kamu Ti?). Dengan ekpresi wajah seperti orang bingung, Siti merespon, "maksudnya apa Pak?" Misno juga heran, akhirnya dengan spontan Misno bertanya kembali, "mau ke mana kamu Ti?". Mendengar pertanyaan itu Siti langsung menjawab, "Oh, itu maksudnya, ini pak, saya mau shoping ke mall". Mendengar jawaban itu, giliran Misno yang bingung, tapi ia cerdik, ia berlagak nyambung dan sambil tersenyum ia bersuara, "O...ya...ya...hati-hati".

Misno yang tak bisa baca tulis itu masuk ke rumahnya dengan keheranan. Ia tak menyangka kalau Siti sudah tidak mengerti bahasa kampungnya sendiri. Misno khawatir kelak hubungan Siti dengan warga sekitar semakin menjauh dikarenakan sekat-sekat bahasa itu. Misno berpikir sehingga iapun menemukan cara untuk mengembalikan tonggak budaya yang hilang dari Siti.

Keesokannya ia kaitkan sekarung pasir di atas pohon dekat jalan setapak itu dengan ikatan panjang yang disembunyikan. Misno mengincar kapan Siti akan keluar rumah lagi. Nah, ketika Siti kembali melewati jalan itu, Misno bersegera menghampiri tali yang mengancing karung pasir itu. Setelah Siti mendekat, dilepaslah tali pengancingnya oleh Misno sehingga sekarung pasir itu jatuh dan membuat Siti terkejut. "Aduh mbok! korang ajher!, sapah jih!, (Aduh buk!, kurang ajar! siapa itu!). Dengan bahasa daerah yang murni, Siti mengungkapkan ekspresinya itu. Misno terpingkal di balik anyaman bambu, ia akhirnya bahagia karena salah satu tonggak budaya Siti masih ada dan sedikitpun tidak terpengaruh arus Ibu Kota.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun