Kali khas itu masih mengalir membelah desa Kajen, warna putih susu tak mudah dilupakan. Efek dari limbah pabrik tepung tapioka dari desa tetangga. Bau menusuk hidung memberi kesan kangen selalu. Minimal setahun, Idul Fitri waktu tepat kembali ke Kajen, desa kecil asri 20 km. utara Kota Pati. Momen nostalgia sekaligus bersilaturakhmi berkunjung ke ndalem (rumah) Â banyak Kiyai di desa sejuta santri itu.
Open house bukan monopoli para pejabat saja, semua berhak sesuka hati menerima tamu. Keasikan sendiri, mencicipi segelas syirup yang gencar diiklankan di  tivi, makan sedikit kue kering buatan tuan rumah dari resep di koran. Senyum simpul, membuka kaleng-kaleng buatan pabrik yang isinya tidak sesuai dengan gambar. Berulang terus pindah dari rumah ke rumah yang disambangi. Puncak acara, bersalaman menyatukan tangan. Darah seolah mengalir lancar,  rileks menikmati ketulusan ikhlas. Saling mema'afkan dan mendo'akan.
Sederhana, terkesan sepele. Tapi dibalik tradisi salaman di hari lebaran, mengandung begitu banyak nilai luhur dan moral yang tak habis direnungkan. Di Kajen dan mungkin di banyak tempat, khususnya orang-orang yang dianggap sebagai pihak yang dihormati. Kiyai, ajengan, ulama' atau diksi lainnya.
Ngalap berkah. Masih banyak orang rela jauh-jauh datang. Selalu terpampang adanya tamu-tamu berjubel, rela menunggu giliran lama, antri tertib mengharap berkah bertemu dan bersalaman dengan tangan yang sejuk, tidak lama, hanya dalam hitungan detik. Dari sosok yang dikagumi ilmu dan akhlaknya sebagai pewaris Nabi dan Wali, penjaga kemaslahatan umat. Pak Kiyai, Semoga selalu sabar berjuang, dan ihlas tanpa pamrih. Dan jangan berpolitik ya, itu merusak segala. Uang terus menggoda.
Selamat Idul Fitri, Mohon ma'af lahir bathin. Merdeka!