Masa kanak-kanak sangat seru dan menyenangkan, penuh dengan kebahagiaan. Begitulah yang saya rasakan puluhan tahun yang lalu. Ada momen-momen yang tak akan terlupakan seumur hidup. Salah satunya pawai obor pada malam Nuzulul Quran.
Pawai obor dilakukan tepat pada malam 17 Ramadan, dikoordinir oleh pengurus masjid di lingkungan kami. Sejak jauh-jauh hari, sudah diumumkan tentang pelaksanaan pawai obor tersebut. Anak-anak yang menjadi peserta boleh menggunakan pakaian daerah atau pakaian muslim.
Saya tidak pernah ketinggalan mengikuti pawai obor ini, walaupun harus berjalan kaki mengelilingi kelurahan Depok Jaya. Entah berapa kilometer, tidak tahu persis. Karena beramai-ramai lelah itu tidak begitu dirasakan.
Kami berkumpul di depan masjid, diatur dalam suatu barisan, tiga memanjang ke belakang. Kelompok terdepan biasanya adalah anak lelaki yang membawa obor. Sedangkan kelompok berikutnya adalah anak-anak yang paling kecil. Di setiap kelompok ada orang dewasa yang menjaga. Mereka juga membawa minuman bagi yang kehausan.
Kadang saya ada di barisan tengah, kadang juga paling belakang karena postur tubuh yang cukup tinggi dibandingkan dengan anak-anak perempuan lain. Pakaian favorit saya adalah jubah sutra dari Arah, peninggalan kakek saya.Â
Apakah baju itu kebesaran? Jelas. Tetapi ibu bisa menyiasatinya dengan menggulung bagian pinggang dan lengan. Bagian pinggang diberi sabuk kulit yang kuat agar tidak melorot, sebab jubah terbuat dari sutra yang licin.
Untuk melengkapi penampilan saya juga membawa tongkat kakek yang sangat kuat. Tongkat itu sebetulnya senjata rahasia, jika ujung kepala diputar, ada belati yang tersimpan, dapat digunakan dalam keadaan darurat jika menghadapi bahaya.
Saya bangga menggunakan jubah sutra itu, dan membayangkan menjadi kakek. Berjalan dengan jubah dan tongkat, tak ubahnya seperti seorang kyai pada masa lampau. Kakek buyut saya adalah seorang kyai yang mendirikan pesantren di salah satu kabupaten.Â
Sekitar pukul sembilan malam barisan mulai bergerak meninggalkan area masjid. Kami menyusuri jalan raya dari ujung ke ujung, mengitari satu kelurahan Depok Jaya. Waktu itu kendaraan bermotor belum ramai, jadi tidak ada bahayanya untuk anak-anak.
Warga kelurahan keluar untuk menonton dan menyambut kami. Mereka gegap gempita sambil bertepuk tangan. Kami terus berjalan sambil membaca shalawat dengan serempak. Sungguh bahagia memeringati malam Nuzulul Quran ini.