Hasil survei Litbang Kompas menimbulkan kegemparan di kedua kubu Paslon. Kubu Jokowi menjadi resah gelisah, sedangkan kubu Prabowo gembira bukan kepalang.
Berbagai dugaan muncul dari kubu Paslon nomor satu, apakah hasil survei itu bisa dipercaya? Atau ini hanya rekayasa lawan yang berhasil menembus pagar media mainstream tersebut.
Masalahnya, Kompas masih menjadi media yang paling dipercaya. Masyarakat menilai media ini masih bisa obyektif, dengan metode ilmiah yang terukur.
Selama ini Kompas justru menjadi rujukan media media lain. Jika Kompas saja menilai elektabilitas Jokowi menurun, tentu akan berpengaruh terhadap yang lain.
Ironinya, kubu Paslon nomor dua yang tadinya memusuhi Kompas karena dianggap sebagai media kafir, sekarang berbalik memuji Kompas. Mungkin karena mereka memang memiliki sifat bunglon, hanya mau menerima hal yang disukai pihaknya.
Sebaliknya, kubu Jokowi harus melakukan introspeksi diri. Tidak usah mencak mencak kepada Kompas atau pun kubu lawan.Â
Sebagaimana sikap yang ditunjukkan Jokowi, agar mereka memperbaiki diri. Mereka harus banyak bercermin, melihat kesalahan yang telah dilakukan atau kelemahan yang selama ini dibiarkan.
Menurut pengamatan saya,  survei itu  nyata dan fakta. Ada tiga penyebab utama turunnya elektabilitas Jokowi. Antara lain:
Pertama, fitnah yang masif. Dalam hal ini fitnah lebih banyak ditujukan untuk menjatuhkan Jokowi. Fitnah yang memberikan citra buruk kepada Capres nomor satu ini.
Misalnya fitnah bahwa Jokowi adalah PKI. Fitnah ini beredar luas di wilayah Jawa Barat dan sebagian besar Sumatera. Hal ini juga disadari oleh Jokowi.
Begitu pula isu masuknya pekerja dan tentara Cina ke Indonesia. Mereka menjadi teror yang menghantui masyarakat.