Tempat hidup sifat primordial-paternalistik ini ada di dalam individu. Dari individu kemudian menjalar ke jalinan keluarga dan kemudian meluas ke komunitas dan masyarakat. Di masyarakat yang sistem kekeluargaannya dan ikatan kelompoknya kuat maka cenderung tumbuh subur sifat primordial-paternalistik itu, dan mewabah ke hampir semua bentuk relasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Idikasi-indikasinya antara lain: bekerjanya bentuk-bentuk kolusi dan koneksi; mendahulukan ikatan keluarga demi gengsi keluarga besar; takut dianggap "tidak tahu diri" (tidak paham balas budi) jika tidak memberikan prevelese; dll.
Maka jika seseorang atau kelompok aparatur hendak mewujudkan dengan tegas kebijakan akuntabilitas keuangan, jelaslah akan terjadi perlawanan, penolakan, mekanisme menghindar dengan segala macam bentuk. Sangat mungkin terjadi bahwa yang "menolak" ada pula oknum dari garis kekerabatannya sendiri dan/atau dari dalam relasi primordialnya.
Melawan Sikap Dasar Budaya
Dari penelaahan penulis terhadap artikel yang membahas sikap dasar budaya masyarakat Aceh ("Tentang Tueng Bila"-http://plik-u.com-9/12/2009; "Siapakah Orang Aceh"-Kris Bedha Somerpes-http://umum.kompasiana.com-25/9/2009), setidaknya ditemukan bahwa: orang Aceh sangat mengutamakan menegakkan kehormatan diri dan keluarga; loyal dan patuh kepada "pimpinan"; haram dipermalukan apalagi di tempat umum; cenderung temperamental; dll. Pandangan-pandangan ini memang belum merupakan hasil penelitian akademis, tetapi kiranya bolehlah kita sebut mendekati realitas yang ada.
Persoalannya adalah setiap orang Aceh, yang kini berstatus pimpinan maupun bukan pimpinan di birokrasi pemerintah, mereka memahami semuanya ini. Bahwa di dalam diri mereka "bekerja" sikap dasar budaya tersebut. Oleh karena itu siapapun yang hendak menegakkan peraturan perundangan, dalam hal ini penerapan tatakelola keuangan yang baik, dia menghadapi dua dilema besar: Pertama, melawan rasa "tidak enak", keraguan serta kebimbangan di dalam dirinya karena adanya stereotip budaya ini; dan Kedua, dia sendiri tahu bahwa di luar dirinya akan datang oposisi dari relasi-relasi primordial-paternalistiknya. Para aparatur "pencetus" gagasan baik, yang tidak kuat atau goyah memegang fokus pada perubahan sistem pengelolaan keuangan pasti akan lembek, dan gagasan bagus itu tinggal isapan jempol bahan parodi media massa dan komunitas di warung-warung kopi.
Mematahkan "Primus Inter Pares"
Seorang kepala badan, kantor, atau dinas dalam wacana model kepemimpinan (instansi pemerintahan) daerah di Indonesia, boleh dibilang semacam "raja kecil" di kerajaan instansinya. Tradisi "kepemimpinan" dalam budaya Timur masih dilandasi makna primus inter pares, yaitu: orang terkuat, paling berkuasa, pemilik segara resources, dll. Bahkan bisa menentukan "mati-hidup" karir seseorang. Kepala suku, kepala desa/gampong, ulebalang, sampai dengan raja adalah primus inter pares, yang tidak hanya bermakna individual namun juga kelompok. Keluarga-keluarga mereka pun (terkadang) mendapatkan prevelese yang berlebih dalam banyak urusan kehidupan.
Celakanya model pemimpin primus inter pares sampai detik ini masih bekerja dan merasuk juga kepada para pemegang jabatan-jabatan publik saat ini. Mengapa begitu?!! Itulah cara bekerjanya wilayah ideologi dari sebuah budaya, dimana dalam telaah kebudayaan aliran Marxian disebut "superstrukture" (lihat Marvin Harris,1979: Cultural Materialism), yaitu suatu ranah bangunan kebudayaan yang berisi ideologi antara lain seperti pandangan, nilai, dan norma, yang umumnya amat sulit untuk berubah. Jadi meski kita rakyat Indonesia kini hidup di jaman millennium, tetapi tetap masih ada disudut kepala kita pandangan dan sikap tradisional "belum mampu membedakan secara benar urusan public dan urusan private".
Siapa Menyusul?
Kabupaten/Kota yang telah meraih WTP bisa dikatakan bahwa mereka sudah "memilih" dan "mengambil sikap" untuk menata pengelolaan keuangannya dengan dilandasi leadership yang bervisi baru mengatasi hambatan kultural yang ada. Di dalam kukungan sikap dasar budaya seperti dipaparkan di atas, hampir tidak mungkin hanya seseorang pimpinan katakanlah kepala DPKKD, Sekda, maupun Bupati mampu melakukan sendiri penataan keuangan daerah. Mari kita sama-sama akui, apa yang telah dilakukan oleh kabupaten/kota penerima WTP itu, akhirnya memang merupakan hasil kerja keras bersama, kekompakan, serta komitmen untuk menembus batas budaya birokrasi primordial-paternalistik.
Tidak sedikit kabupaten/kota di Indonesia atau di Aceh yang APBK-nya relatif besar, pegawainya mencukupi dengan tingkat pendidikan lumayan, yang telah memakai aplikasi keuangan canggih, yang PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya lumayan, yang fasilitas kerjanya cukup memadai, dll. Namun hanya sedikit saja yang mampu meraih WTP itu. Bahkan di Jawa yang notabene dengan tingkat edukasi relatif baik serta dekat dengan sumber ahli di universitas-universitas ternama, pun kurang signifikan jumlah kabupaten/kotanya yang mendapatkan nilai WTP. Mengapa?!