Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengkritisi Fenomena Maraknya "Atas Nama Agama"

17 Oktober 2020   09:40 Diperbarui: 19 Oktober 2020   10:23 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
redaksiindonesia.com

Kemarin, jumat (16/10/20) penulis membaca sebuah Tajuk Rencana di Harian Kompas yang berjudul "Penerimaan Kunci Vaksinasi", di mana keberhasilan vaksinasi untuk melawan Covid-19 bergantung pada banyak faktor. 

Mark Nichter dan Mimi Nichter dalam buku klasik Anthropology and International Health: Asian Case Studies (1989) menyebutkan, penerimaan terhadap program vaksinasi dipengaruhi tiga faktor: ketersediaan, akses dan kualitas layanan kesehatan, serta kondisi sosial budaya masyarakat. Fokus utama dalam tema adalah bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia.

Pemerintah Indonesia telah mengamankan vaksin sebanyak 390 juta dari Sinovac dan Sinopharm yang berasal dari China. Ditambah pasokan 100 juta vaksin yang berhasil digondol oleh Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi dari perusahaan farmasi Astra Zanecca yang berasal dari Inggris. Pengembangan vaksin Merah Putih pun terus dibangun.

Kondisi sosial budaya sebagian masyarakat Indonesia (antivaksin) tentang pemahaman vaksin yang amat keliru, terus disebar. Baik melalui jaringan platform media sosial, maupun pengkhotbah agama dalam rangka memengaruhi publik agar tidak mempercayai vaksin. Pada umumnya, pemahaman sesat antivaksin tersebut berbasis konservatisme agama.

Dengan mengatasnamakan agama, dibumbui beberapa teks ayat suci, dan rasionalisasi fiqih seperti berbahan minyak babi yang dipertanyakan kehalalannya, bahan kimia berbahaya hingga sanitasi, akan semakin mengendorkan perlawanan terhadap Covid-19.

Realita tersebut perlu perhatian serius dari semua pihak, sebab kita semua sedang bergotong royong memerangi virus yang mematikan itu agar upaya melawan Covid-19 melalui vaksin ini, dapat tepat sasaran. Tapi memang tidak mengherankan melihat data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan pada tahun 2017, 95 kabupaten atau kota di 20 provinsi melaporkan kasus difteri. Dari 622 kasus yang dilaporkan, 32 meninggal dunia. Padahal difteri dapat dicegah dengan imunisasi.

Kenyataannya, agama dalam hubungan sosial kemasyarakatan, tujuan utama yang universial dimaksudkan untuk mewujudkan perdamaian, kemanusiaan, dan keadilan. Lebih dari itu, agama seharusnya berperan penting menjawab problematika sosial kemasyarakatan yang bersifat antroposentris-humanis. Persepsi teologi kelompok antivaksin yang mengaku beriman dan beragama rahmatan lil alamin, justru kontradiksi dengan agama dalam lingkup sosial-humanis.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, agama selalu dijadikan alat justifikasi dan legitimasi untuk memporak-porandakan kemanusiaan itu sendiri. Bahkan tidak sedikit para aktor kekerasan mengumandangkan ayat-ayat suci sembari membangun emosi hawa nafsu setan dalam diri manusia, dengan sasaran mendera manusia lainnya.

Sejarah Perang Salib juga salah satu catatan hitam atas nama agama, ketika Paus Urbanus melalui pidato agitasinya di kota Clermont, Prancis pada 25 November 1095 sebagai perang suci. Walaupun sebenarnya jika kita analisis lebih dalam, agama bukanlah faktor dominan yang utuh, sebab tidak didukung spirit penginjilan. 

Bahkan sejarawan Philip K. Hitti beranggapan bahwa bantuan Paus Urbanus II dengan mengirim pasukan Barat-Eropa, hanya sekadar membantu mengamankan Konstantinopel dari serangan Dinasti Saljuk dari Turki. Akan tetapi, agama tetap menjadi legitimasi pemantik dalam kobaran perang suci atas komando Paus Urbanus II yang membara, terutama ketika pasukan salib berhasil merebut kota Yerusalem pada Juni tahun 1099, membantai habis tak tersisa seluruh penduduk Yerusalem.

Lebih-lebih Kota Yerusalem merupakan kota penting tiga agama langit; Yahudi, Kristen, dan Islam, yang memiliki akar sejarah panjang para nabi dilahirkan dan berpijak. Di tanah ini pula peziarah agama samawi berbondong-bondong untuk melakukan ritual peribadatan. Tidak dapat dipungkiri, kunci dakwah atas nama agama menjadi penting dalam memperebutkan Kota Suci tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun