Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKS Memperjuangkan Moralitas, tapi Minus Moralitas

24 September 2020   11:39 Diperbarui: 24 September 2020   12:03 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis beranggapan bahwa sikap politik PKS masih menyembunyikan agenda besarnya, yakni berdirinya negara Islam. Hal  tersebut ditunjukkan pada sikap politik kader PKS yang "menduakan" Pancasila dengan perilaku yang terucap, berbeda dengan implementasi hati nuraninya. Memiliki agenda dan hasrat tesembunyi seperti demikian bisa kita sebut sebagai sikap taqiyyah.

Walaupun gerakan PKS, menunjukkan pembaharuan sebagai partai Islam yang mampu memiliki sistem kaderisasi yang menyentuh di tingkat akar rumput, secara terorganisir, terstruktur, sistematis, dan masif, PKS masih belum mampu bersaing dengan partai-partai nasionalis yang telah mengakar lebih lama, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar.

Jangankan untuk merampas suara partai nasionalis, merebut suara partai Islam lain pun, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Bulan Bintang (PBB), PKS masih keteteran.  Dengan ideologi PKS yang mendambakan Indonesia menjadi negara Islam,  tentu saja mengurangi simpatik masyarakat Indonesia, bahwa Islamisme Ikhwanul Muslimin yang telah dianggap sebagai organisasi teroris, telah memberi sinyal ancaman yang serius terhadap dasar negara. Yakni, NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.

Sadanand Dhume (2005) secara spesifik mengamati politik Indonesia. Misalnya saja, ia menyatakan Islamisme PKS mengirim isyarat terancamnya tradisi keragaman dan pluralitas bangsa. Dhume juga mengungkapkan---gambaran yang lebih berbahaya daripada jaringan teroris---Teror jamaah Islamiyah yang dapat diatasi oleh negara. Sedangkan PKS meresap dalam kompatibilitas Islamisme dan demokrasi. Secara halus, meresap ke wilayah sistem yang kemudian berusaha menanamkan formalisasi syariat untuk meruntuhkan substansial Islam dalam instrumen negara.

Fakta di atas dibuktikan ketika ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada Tahun 2019 lalu, dengan dalih liberal dan tidak sesuai dengan agama. Kerancuan dalam membaca teks yang secara keseluruhan pasalnya melindungi perempuan dari tindak kekerasan, justru ditolak oleh partai yang menyatakan dirinya sebagai partai Islam.

Penulis menganggap sesat pikir PKS ini, ada dua kemungkinan dalam penolakannya di atas. Pertama, PKS keliru dalam membaca poin dan pasal dalam RUU PKS. Kedua, PKS dengan ideologi Islamismenya yang konservatif itu, menganggap wanita tidak setara dengan pria. Wanita hanya dijadikan objek seksual dan akan selalu berkududukan di bawah pria.

Hal itulah yang memperlihatkan PKS sebagai partai berbasis dan berideologi Islam, perilaku dan tindakannya inkonsisten dalam rangka pembangunan nilai-nilai Islami dalam konstitusi negara, justru bertolak belakang---plintat-plintut itu juga mempertontonkan perilaku mesum dan beberapa skandal seks---tidak mencerminkan perilaku kader partai Islam.

Misalnya, pada Tahun 2011, anggota fraksi dari PKS bernama Arifinto kepergok kamera, tengah menonton video porno saat rapat di Gedung DPR RI. Ia berdalih, penasaran untuk membuka konten pornografi secara tidak disengaja. Namun, berdasarkan pengakuan sang fotografer yang mengabadikan momen hina itu, mengungkapkan bahwa durasi yang ditonton oleh Arifinto, cukup lama. Dampaknya adalah social law (hukum sosial) sebagai punishment yang cukup membuat dirinya mengundurkan diri dari kursi terhormat, pada tanggal 11 April 2011.

Selain itu, pernikahan dengan gadis di bawah umur oleh pimpinannya sendiri, Luthfi Hasan Ishaaq yang juga melibatkan kawan dekatnya Ahmad Fathanah. Belum lagi sejumlah kasus suap dan pencucian uang yang mengakibatkan presiden PKS 2009-2014 itu, tidak hanya terjungkal dalam karir politiknya, akan tetapi juga divonis oleh hakim 16 tahun penjara, dan denda senilai Rp. 1 miliar.

Belum lagi, anggota polisi yang memergoki oknum kader PKS yang juga anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Selatan, provinsi Kalimantan Selatan, berinisial GR (42), tengah mesum dengan seorang gadis berusia 17 tahun di mobil dinasnya. Insiden memalukan tersebut terjadi pada selasa, (11/4/2017). Seorang yang dianggap panutan, justru berprilaku amoral.

Ditambah, yang lagi-lagi melibatkan kader PKS dengan perilaku asusila. Berdasarkan berita pada portal online jpnn.com, pada hari jumat, (2/11/2018), seorang anggota DPRD Kota Semarang bernama Imam Mardjuki, menjalin hubungan yang dilarang keras oleh agama, yakni berselingkuh dengan seorang wanita bersuami yang berinisial RNS. Tangkapan layar chatting celotehan mesum dan foto selingkuhannya di hotel, telah menyebar, hingga membuat dirinya diberhentikan secara tidak terhormat oleh DPP PKS, melalui rekomendasi nomor 10/REK/DPP-PKS/2018, bertanggal 22 oktober 2018. Rekomendasi itu juga ditandatangani langsung oleh Presiden PKS M Shohibul Iman, dan sekertaris jendral, Mustafa Kamal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun