Mohon tunggu...
Ema Damayanti
Ema Damayanti Mohon Tunggu... Guru - Noroweco

Seorang pengajar SMP dan Ibu satu putra.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menunggu Waktu yang Tepat

13 Maret 2021   00:47 Diperbarui: 15 Maret 2021   19:01 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Sebagai seorang Ibu, apalagi ketika masih punya anak pertama pasti memiliki idealisme tersendiri untuk anaknya agar tumbuh sesuai harapan.

Akan tetapi, yang dirasakan saya, idealisme tersebut seringkali membuat saya banyak menuntut anak sendiri dengan tuntutan yang kurang masuk akal dan membuat anak tertekan. 

Apalagi, kalau melihat perkembangan anak yang lain yang dianggap lebih dari anak kita, sikap panasan pun muncul. Seakan semua teori yang mengatakan bahwa semua anak adalah bintang, tidak mempan menjadi nasehat. 

Seringkali ambisi saya sebagai orang tua bersembunyi dibalik dalih ‘demi anak’. Kekhawatiran berlebihan pun sering terjadi ketika anak tidak seperti yang lainnya.

Beberapa perkembangan motorik anak saya terlambat pada beberapa fase, misalnya dia baru bisa berjalan di usia 16 bulan. Saya dibuat khawatir, padahal ibunya sendiri baru bisa berjalan usia 18 bulan.

 Saya khawatir. Padahal, anak saya sudah lancar berbicara tanpa cadel usia 16 bulan itu. Anak saya umur setahun belum tumbuh gigi, tapi ternyata umur 13 bulan tumbuh juga. 

Saya sering menyalahkan diri mungkin saya kurang memberinya stimulus. Sikap menyalahkan diri suatu hal yang sangat tidak perlu. Sekarang  pada usia hampir 10 tahun, anak saya baru menuntaskan copot gigi susu. Memang, beda dengan anak pada umumnya tapi kan copot juga.

Usia 4 tahun saat anak yang lain lancar bersepeda. Anak saya tidak mau bersepeda, dia tidak begitu tertarik. Saya membujuknya karena membaca bahwa di usia tersebut perkembangan motorik kasar anak harusnya sudah lewat masa mengayuh sepeda. 

Eh, sekarang di usia 10 tahun, tidak harus diajarkan ternyata mau sendiri, tiap hari bersepeda. Bisa juga kan tanpa paksaan.

Sejak mulai bicara, anak saya menangis setiap keramas karena takut air kena mata. Saya dibuat bingung. Keramas kan keharusan.

Teman saya mengatakan bahwa saya kurang membiasakan anak keramas langsung diguyur air sejak bayi. Saat anak-anak yang lain senang bermain air di kolam renang dan pantai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun