Mohon tunggu...
Inovasi

Isu Terkini Jurnalisme Online

1 April 2017   11:37 Diperbarui: 1 April 2017   20:00 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Jurnalisme Online mempunyai arti pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan melaporkan berita kepada khalayak. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, jurnalimse onlie tidak hanya terpatok pada media cetak atau surat kabar saja namun berkembang menjadi media online. Menurut Asep Syamsul (2003) Jurnalistik adalah proses kegiatan mengolah, menulis, dan menyebarluaskanberita dan atau opini melalui media massa. Paul Bradshaw dalam Romli (2012:12) menyebutkan ada lima prinsip dasar jurnalistik online yaitu:
1.Keringkasan (Brevity), berita online dituntut ringkas untuk menyesuaikan dengan kehidupan manusia dan tingkat kesibukannnya yang semakin tinggi.
2.Kemampuan beradaptasi (Adaptability), wartawan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Jurnalis harus dapat menyajikan berita dengan cara membuat berbagai keragaman format berita, baik dalam bentuk tulisan, suara maupun video 3.Dapat dipindai (scannability), untuk memudahkan audiens, situs-situs jurnalistik online hendaknya memiliki sifat dapat dipindai agar pembaca tidak perlu merasa terpaksa dalam membaca informasi atau berita.
4. Interaktivitas, komunikasi dari publik kepada jurnalis dalam jurnalisme online sangat dimungkinkan dengan adanya akses yang semakin luas. Hal ini penting karena semakin audiens merasa dilibatkan maka mereka akan merasa dihargai
5.Komunitas dan percakapan, media online memiliki peran yang lebih besar daripada media cetak atau media konvensional lainnya, yakni sebagai komunitas.

Jurnalisme online menghadirkan new media. Pada dasarnya konsep jurnalistik pasti juga dikaitkan dengan kebebasan pers yang ada. Pers berasal dari bahasa Belanda yang berarti menekan, dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dicetak, yang di maksud disini kalender dan perangko, arti luas lain yakni yang menyangkut kegiatan komunikasi, baik yang dilakukan media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi maupun internet. Pers dalam perspektif Islam menurut Hamzah Ya’qub dalam buku Publisistik Islam, Sebuah Pengantar Bagi Penulis Pemula (1989:86) mengacu pada nilai-nilai kejujuran san kebenaran. Kata kunci dalam pers Islam itu adalah keteguhan dan komitmen yang kuat dalam menyajikan berita yang jujur dan benar. Selama pers memberitakan atau menyajikan informasi yang benar dan fakta sesuai apa yang terjadi berarti pers sudah melaksanakan kewajibannya dengan baik, namun apabila pers tidak memberikan informasi kepada masyarakat dengan jujur dan benar sesuai dengan fakta yang ditemukan di lapangan, dapat diartikan bahwa pers tersebut tidak menjalankan kewajibannya dengan baik. Peranan pers dalam masyarakat untuk melayani masyarakat dan memberikan gambaran, fakta, atau keadaan yang nyata dalam kehidupan masyarakat (Daulay, 2016, h.3). Pers dianggap sebagai media penyalur informasi atau berita antara fakta yang ditemukan di lapangan kepada masyarakat yang membutuhkan berita tersebut. Alangkah lebih baiknya jika pers bersikap netral dan objektif, tidak ada keberpihakan dengan salah satu pihak saja. Tidak memiliki tujuan lain selain untuk memberikan informasi lengkap kepada masyarakat akan sebuah fenomena. Pers merupakan salah satu bentuk sarana perubahan dan kemajuan bagu masyarakat dan negara, hal ini terjadi karena pers berfungsi menyebarluaskan informasi, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat, dan meluaskan komunikasi sosial dan partisipasi masyarakat (Assegaf, 1984, h.46).
Kebebasan pers di Indonesia semakin tidak terkendali lagi, contohnya pornografi. Zaman sekarang penampilan beberapa media merusak moral bangsa, publikasi gambar-gambar bugil dengan dalih kebebasan pers semakin liar. Namun persoalan dari efek kebebasan pers ini muncul krisis moral dan kegersangan spiritual di tengah masyarakat (Yamin, 2007, h.29). Dibalik kebebasan pers yang semakin memanas, adapula daerah bagian ujung Indonesia yakni Papua dan lainnya yang masih minim kebebasan pers. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan pers di kota-kota besar di Indonesia. John Saltford lewat bukunya “The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua 1962-1969” (Saltford, 2003) mengungkapkan bahwa pembatasan pers di Papua sudah berlangsung sejak tahun 1963 silam. Seorang pakar dari Universitas Melbourne, Richard Chauvel dikutip dalam “Keeping West Papua in The Dark” mengkonfirmasi kecenderungan kurangnya kebebasan pers di Papua, yang juga dijuluki “Tanah Damai” tersebut ( http://www.imparsial.org/publikasi/opini/tentang-kebebasan-pers-di-papua/).

Seperti yang diberitakan melalui portal berita online Indonesia, Tribun Timur menyebutkan bahwa di era pasca reformasi media di Papua tidak mendapatkan kebebasan pers, adanya tekanan, intimidasi kepada jurnalis di bagian Timur Indonesia ini, “Di tahun 2007 mereka dilarang terbit hanya karena pemberitaan soal lokasi transmigrasi yang dinilai tak layak ditempati karena kekeringan. Sementara di tahun 2008, mereka 'dibredel' karena masalah etika foto yang ditampilkan di halaman depan. Saat itu, Papua Selatan Pos memasang foto korban pembunuhan dengan leher terputus tanpa sensor sama sekali” ( https://www.google.co.id/amp/makassar.tribunnews.com/amp/2017/01/31/kebebasan-pers-di-papua-masih-rendah-sulit-beritakan-korupsi).
Banyak berita-berita di portal berita online yang memberitakan bahwa meliput berita di Papua masih sulit, jikalau pun bisa pasti suasananya juga mencekam, selama ini wartawan mengambil berita tentang Papua dari Pemerintah. Menurut data yang di dapatkan dari hasil wawancara oleh beberapa jurnalis di Papua yang di muat di portal berita online rappler.com, menemukan fakta bahwa:
• Adanya perlakuan diskriminatif dari aparat pemerintah dan keamanan terhadap jurnalis orang asli Papua (OAP) dan non orang asli Papua.
• Terdapat stigmatisasi terhadap jurnalis yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah. Mereka dilabeli jurnalis pro Papua merdeka dan dijadikan senjata oleh aparat untuk melakukan intimidasi
• Jurnalis di Papua kesulitan untuk memberitakan mengenai dampak kerusakan lingkungan dan penggusuran suku asli. Banya intimidasi dan pembatasan yang dilakukan.
• Ditemukan fakta adanya pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan, baik itu dilaporkan atau tidak.
• Perlu dilakukan penguatan kapasitas jurnalis di Papua mulai dari kode etik, pemahaman profesi hingga ke penguasaan teknologi.
• Perlu adanya pemerataan infrastruktur komunikasi dan akses teknologi informasi di seluruh wilayah Papua untuk meningkatkan kompetensi
• Sebaiknya dilakukan perubahan perspektif media dari luar Papua dalam peliputan dan pemberitaan sehingga mendapatkan fakta yang lebih komprehensif dan faktual.
Atmakusumah, tokoh pers dan wartawan sekaligus pengajar di Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS), menyatakan bahwa “persoalan jurnalisme di Papua adalah sangat sedikitnya pemberitaan yang kritis terhadap masalah-masalah di Papua. Selain itu pemberitaan terasa sangat reaktif daripada kreatif. Misalnya saja kejadian di Eranatoli pada 2015 di mana sangat sedikit pelaporan mendalam tentang kekerasan yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Adapun kecenderungan jurnalisme talkshow muncul dan kerap hanya menonjolkan elite politik dan LSM tanpa penggalian lebih jauh oleh jurnalis atau media”(http://lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=731:atmakusumah-pers-harus-lebih-teratur-menulis-papua&catid=15:kliping-berita&Itemid=18).

Isu-isu seperti korupsi dan politik di daerah Papua tidak dapat dicampuradukkan dengan publik. Jadi sudah ada antisipasi terkait isu-isu tersebut sebelum mencuat ke publik (http://www.rappler.com/indonesia/berita/160713-tingkat-kebebasan-pers-papua-rendah). Berita lainnya yakni seperti kurangnya akses untuk masuk ke Papua, sangat minimnya keamanan ketika jurnalis masuk ke wilayah Papua, kekerasan, ancaman dan penangkapan yang tidak didasari oleh bukti hukum atau dilakukan oleh satu pihak saja yang berada di Papua, adanya suap kepada jurnalis yang memberitakan berita dengan angel yang fiktif belaka, aturan mengenai visa yang dianggap mendiskriminasi jurnalis asing, Banyaknya permasalahan hingga tahun 2017 ini tentunya hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Indonesia terkait kebebasan pers di Papua. Adanya kode etik jurnalistik sedikit menjawab tentang permasalahan yang muncul ketika wartawan menjalankan profesinya. Menurut Djakfar H. Assegaf dalam bukunya Jurnalistik Masa Kini, maupun Ashadi Siregar dalam bukunya Menjadi Wartawan Profesional, mempunyai pendapat yang sama yakni kode etik jurnalistik sebagai rambu-rambu bagi wartawan dan untuk mendukung tumbuhnya jurnalis yang mempunyai kualitas bagus (Daulay, 2016, h. 39). Kode Etik Jurnalistik pertama kalinya dirumuskan pada tahun 1947, waktu itu masa reformasi pada saat Konferensi Persatuan Wartawan Indonesia di Malang, Jawa Timur. Lalu kemudian diperbaiki kembali pada tahun 1983 di Manado, Sulawesi Urara pada saat kongres PWI. Lalu diadakan lagi pertemuan di Batam untuk menyempurnakan Kode Etik Jurnalistik pada tahun 1994. Lalu secara resmi Kode Etik Jurnalistik mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995 (Amir, 1999, h. 49).

Melihat Kode Etik Jurnalistik yang dianggap sebagai acuan seorang jurnalis atau wartawan untuk menjalankan profesinya sudah ada sejak dulu, namun hingga saat ini pemberitaan mengenai kebebasan pers yang di atur dalam Kode Etik Jurnalistik masih saja bergulir. Ada campur tangan Presiden untuk mengatasi kasus tersebut, meskipun tindakan yang dilakukan Presiden belum sepenuhnya mengubah keadaan para jurnalis yang memasuki wilayah Papua.

 

DAFTAR PUSTAKA:

http://lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=731:atmakusumah-pers-harus-lebih-teratur-menulis-papua&catid=15:kliping-berita&Itemid=18. Diakses pada 1 Maret 2017.
• Komarudin, Asep. 3 Maret 3017. Tentang Kebebasan Pers di Papua. http://www.imparsial.org/publikasi/opini/tentang-kebebasan-pers-di-papua/. Diakses pada 1 Maret 2017
• Wardana, Anita. 31 Januari 2017. Kebebasan Pers di Papua Masih Rendah, Sulit Beritakan Kirupsi.https://www.google.co.id/amp/makassar.tribunnews.com/amp/2017/01/31/kebebasan-pers-di-papua-masih-rendah-sulit-beritakan-korupsi. Diakses pada 1 Maret 2017
• Satria, Bima Putra. 7 Februari 2017. Tingkat Kebebasan Pers di Tanah Papua Masih Rendah. http://www.rappler.com/indonesia/berita/160713-tingkat-kebebasan-pers-papua-rendah. Diakses pada 1 Maret 2017
• M.Romli, Asep Syamsul. 2003. Jurnalistik Dakwah. Bandung: Rosda
• M. Romli, Asep Syamsul. 2012. Jurnalistik Online: Panduan Mengelola Media Online. Bandung: Nuansa Cendekia
• Allan, Stuart. 2006. Online News Journalism and The Internet. England: Open University Press
• Daulay, Hamdan. 2016. Jurnalistik dan Kebebasan Pers. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA
• Assegaf, Dja’far H. 1984. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia
• Siregar, Ashadi. 1990. Menjadi Wartawan Profesional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
• Yamin, Ahmad. 2007. Pro Kontra RUU Pornografi. H.U Replubika edisi 27
• Ya’qub, Hamzah. 1989. Publistik Islam, Sebuah Pengantar Bagi Penulis Pemula. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA
• Saltford, John. 2013. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua 1962-1969, Routledge, New York.

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun