Mohon tunggu...
Elson Serena
Elson Serena Mohon Tunggu... -

184 cm\r\n\r\nSedang menggeluti Hukum & Dunia Rimba

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paradigma Kehidupan Manusia

11 Mei 2014   11:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Persoalan mengenai manusia merupakan persoalan lama, tetapi tak pernah habis. Sebab di tiap zaman, pada perkembangan kemasyarakatannya senantiasa melahirkan problematika tersendiri. Misalnya pada perkembangan jumlah penduduk, pada praktek konflik yang selalu menghadirkan cara baru untuk membinasakan pihak lain, soal kesehatan, soal pemberian pendidikan, hingga pada perlombaan mengenyam berbagai materi.

Sering menjadi pertanyaan, apakah kemajuan-kemajuan yang dicapai telah membedakan dengan dengan fase sebelumnya? Sebut saja satu istilah tentang dehumanisme, apakah kita semakin humanis dibanding dahulu kala? Atau apakah mereka yang maju, menjadi lebih nyaman, dibanding kalangan yang meneruskan tradisi secara ketat, yang terkadang ada yang menyebut terbelakang?

Jika dirangkum, apakah nasib manusia masa kini lebih baik dari manusia di masa lalu, dan nasib manusia di masa yang akan datang semakin lebih baik dibanding masa kini. Seiring dengan pandangan bahwa kemajuan peradaban, kemajuan Iptek atau kemajuan pembangunan akan selalu membawa nasib yang lebih baik bagi ummat manusia ?

Semakin berkurangnya deposit sumber daya alam, bertambahnya pencemaran dan efek rumah kaca menambah keyakinan beberapa pihak, bahwa nasib manusia nanti belum tentu sebaik di masa lalu. Karena nasib baik manusia, selalu dipandang tergantung dari daya dukung kekayaan alam. Belum ada pandangan yang kuat, bahwa nasib baik manusia dapat ditentukan oleh cara baru kita berpijak pada alam, yakni seperti bergantung pada sumber alam yang setelah digunakan dapat terus di recycling. Atau mengubah orientasi sosial dengan konsekwensi dapat bertubrukan pada keyakinan religi, keyakinan ideologis dan kebiasaan-kebiasaan yang mengakar di berbagai masyarakat di muka bumi. Contoh paling gamblang, yakni pada dimensi mengendalikan jumlah penduduk.

Di wilayah yang mengalami babak pertama pembangunan seperti pembangunan prasarana modern dari suatu lingkungan yang belum pernah ada jalan raya, gedung-gedung, listrik dan pabrik. Selalu dipandang akan membawa perbaikan nasib atau kesejahteraan bersama. Tetapi bagi wilayah yang telah berkali-kali melakukan rehabilitasi prasarana modern dan menjadi lebih modern, justru mulai banyak di antara penduduknya yang merasakan ketidaknyamanan. Atau lebih karena dihadapkan pada problematika hidup semakin beresiko, bekerja hanya untuk mempertahankan kualitas fisik minimal, hari libur hanya untuk lepas lelah (kurang dapat meningkatkan kebugaran) dan bermasyarakat “yang murah” condong beralih di dunia maya (jejaring sosial via internet).

Dahulu kita menganggap bahwa ekonomi industri akan mampu mempercepat pemenuhan kebutuhan manusia, dibanding ekonomi agraris. Dahulu kita menganggap bahwa demokrasi akan membawa keadaan lebih baik dibanding otoritarianisme. Dahulu kita menganggap sistem perkotaan akan mampu mengefisienkan sistem pemukiman, dari model lama (pedestarian, pedesaan, perkampuangan dll) yang tidak dapat “mengkonsentrasikan” berbagai jenis prasarana, sarana dan utilitas bagi suatu komunitas.
Dan, dahulu kita menganggap bahwa birokrasi pemerintah, lembaga perusahaan serta partai politik akan membawa kehidupan yang lebih baik, dibanding lingkungan sosial yang di dominasi sistem kekerabatan.

Kini semua “hal baru” tersebut diatas, membawa problematika yang terus sulit terpecahkan. Karena cepat hadirnya problematika yang lebih baru, sementara problematika sebelumnya belum selesai diatasi. Di masa silam, kaum pejuang politik dan kaum cendekiawan kerap menjadi nahkoda masyarakat untuk perubahan yang lebih baik. Dan itu bukan hanya pada satu dua wilayah atau negara, tetapi sejarah menunjukkan terjadi pada berbagai negara. Tetapi kini jenis kalangan tersebut “terbonsai” oleh sistem oligarki yang urat nadinya di kontrol oleh kaum kapitalis. Dan banyak masyarakat terlena serta terpuaskan oleh sistem oligarki demikian, karena sewaktu-waktu dihibur oleh taburan dana seperti berbentuk money politics saat moment-moment Pemilu (election), atau “bantuan langsung tunai” saat-saat moment sosial tertentu.

Inilah sebagian penting kenyataan “baru” yang tidak mudah disadari oleh semua pihak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun