Khazanah melayu adalah salah satu hal yang melekat dengan masyarakat Bangka. Apalagi saat islamisasi di tanah Bangka telah dimulai. Beberapa sumber menyebutkan bahwa islamisasi di tanah Bangka melalui beberapa jalur dan telah dimulai dari abad ke-7 (lihat Deqy, 2014: 227), dimulai abad ke-9 (lihat Purwati, 2016: 41), dan dimulai abad ke-16 (lihat Zulkifli, 2007: 12).
Dari sumber ini, kita dapat melihat bahwa pada hakekatnya masyarakat Bangka telah bersentuhan dengan Islam pada waktu itu. Terlepas apakah mereka telah memeluk atau menganut Islam sebagai agama ataukah tidak. Namun yang terpenting dari itu semua adalah khazanah melayu yang melekat bersamanya. Karena kita tahu, bahwa islamisasi nusantara tidak sama dengan dengan proses islamisasi di negara-negara lain.
Di sini penulis tidak membahas islamisasi di tanah Bangka, akan tetapi fokus pada penelusuran khazanah melayu yang melekat di tanah Bangka saat islamisasi dimulai. Khazanah melayu tersebut adalah manuskrip kuno (atau juga biasa disebut naskah kuno) yang ada di Bangka, khususnya yang bertuliskan Arab Melayu (Jawi).
Keberadaan manuskrip kuno tersebut menurut asumsi penulis, di tanah Bangka ini sangat banyak. Tersebar di seluruh penjuru pulau Bangka. Sebut saja di Mentok terdapat 2 buah manuskrip jawi yang menceritakan tentang pulau Bangka, yakni yang ditulis oleh Haji Idris tahun 1861 dan ditulis oleh Abang Arifin tahun 1876, yang keberadaannya ada di Leiden-Belanda. Selain itu, ada satu buah manuskrip salinan ulang dari kitab Sairus Salikin karya Syaikh Abdus Somad Al-Palembangi yang di pegang oleh Bapak Najib Isa Kampung Ulu Mentok. Juga terdapat di rumah Bapak Aljufri kampung pal 1 dan Bapak Bujang di Kampung pal 3
Di wilayah Kecamatan Simpang Teritip, yakni di Peradong, juga terdapat beberapa manuskrip. Di antaranya dari salah satu manuskrip tersebut ada manuskrip salinan dari kitab Asrar Al-Insan karya Ulama Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniry. Ada juga manuskrip yang berisi shalawat Sultan Mahmud Al Ghaznawi dan do'a kadah.
Selain di Peradong, juga terdapat di Kampung Berang, yakni koleksi Almarhum Atok Abdurrahim yang kini di pegang oleh anaknya. Manuskrip Atok Abdurrahim ini sebagian ditulis oleh beliau sendiri dan sebagian peninggalan dari sang gurunya. Di kampung Rajek juga berdasarkan informasi orang tua di kampung Peradong juga ada manuskrip, hanya saja penulis belum melihat secara lansung.
Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud apa-apa, penulis hanya tertarik dengan khazanak melayu yang tidak ternilai ini. Tujuannya adalah untuk proses digitalisasi manuskrip tersebut. Agar dikemudian hari jika manuskrip-manuskrip tersebut telah lapuk dimakan masa, maka versi digitalnya masih ada. Sehingga masih dapat untuk dilakukan penkajian lebih mendalam.