Mohon tunggu...
Suryan Masrin
Suryan Masrin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis Pemula, Guru SD Negeri 10 Muntok (sekarang), SD Negeri 14 Parittiga, pemerhati manuskrip/naskah kuno lokal Bangka, guru blogger

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Islam di Peradong

22 Januari 2019   15:37 Diperbarui: 22 Januari 2019   16:18 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini dalam bentuk panjangnya telah dimuat dalam sebuah buku Kapita Selekta Penulisan Sejarah Lokal 2018 dengan judul Jejak Penyebaran Islam di Peradong. Kali ini penulis hanya menyajikan dalam bentuk ringkasan saja agar lebih cepat sampai ke tangan pembaca dan agar lebih mudah dipahami. Penulis juga berharap dengan disebarluaskan melalui kompasiana ini lebih mempermudah jangkauan dan kecepatan informasi ke khalayak umum.


Peradong merupakan salah satu desa yang berada di wilayah adminstratif Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepaulauan Bangka Belitung. Nama Peradong sendiri berdasarkan informasi yang telah ditelusuri, diketahui dan dikenal secara menyeluruh di zaman penjajahan Belanda. Hal ini didasarkan pada karya Letnan dua L (Ullman) seorang ahli topografi bangsa Belanda yang diterbitkan di Batavia tahun 1856, sebagaimana dikutip dari tulisan Elvian (2014: 1), nama Peradong dengan penulisan 'Prandoeng'. Nama Peradong sendiri, dalam beberapa catatan asing dan dalam peta yang dibuat oleh asing ada beberapa macam penulisan, yakni Prandoeng (1852-1855), Pradong (1855), Peradoeng (1916), dan Pradoeng (1945).
 

Cover buku Kapita Selekta Penulisan Sejarah Lokal 2018 Kabupaten Bangka Barat (sumber Bidang Kebudayaan Babar)
Cover buku Kapita Selekta Penulisan Sejarah Lokal 2018 Kabupaten Bangka Barat (sumber Bidang Kebudayaan Babar)
Peradong sendiri, secara legenda menurut masyarakat setempat dinamakan demikian karena dahulunya banyak pohon peradong. Seperti diceritakan oleh Kek Jemat seorang tetua adat Desa Peradong (dikenal sebagai dukun kampung) dalam Suryan (2010: 21), bahwa "sewaktu penduduk tersebut mulai melakukan penggarapan tempat mukim, banyak kayu-kayu (pohon) besar yang harus ditebang". Kayu tersebut dikenal penduduk dengan sebutan kayeow Peradong yang besarnya sampai tige pelok (tiga pelukan orang dewasa). 

Untuk menebang kayu tersebut menurut tetua adat harus menggunakan/memberikan sesajen (sesembahan), berupa bubur puteh mirah (Bubur yang warnanya harus putih dan merah, biasanya terbuat dari beras dicampur dengan santan kelapa), ditambah dengan pulot item (Pulot/pulut (Jawa) adalah makanan yang terbuat dari beras ketan/pulut yang dimasak menggunakan santan kelapa sebagai airnya, untuk memasaknya seperti halnya memasak nasi biasa), dan telok ayem butet (telur ayam yang tunggal). Ada juga yang menyebutkan penamaan Peradong tersebut diambil dari nama sungai yang ada di daerah tersebut.

Membicarakan Peradong tidaklah semenarik cerita daerah lainnya di Bangka, seperti halnya Lom dan Mapur, Kota Kapur, Mentok, dan lainnya. Peradong hanyalah bagian kecil dari Bangka, yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat Bangka khususnya, dan Indonesia umumnya. Peradong yang merupakan bagian dari Pulau Bangka, tidak terlepas dari proses islamisasi masyarakat Bangka. Pulau Bangka sendiri merupakan jalur penting, yang menghubungkan Malaka, Sumatera, dan Jawa. 

Sebagai jalur penting, tentu banyak penjelajah dan pedagang yang melewatinya, termasuk Arab dan Cina. Berdasarkan bukti arkeologi dan sumber berita Arab dan Cina, dapat diperkirakan sejak abad ke-9 Islam telah hadir di Pulau Bangka. Akan tetapi perkembangan pada masa-masa selanjutnya, sumber sejarah maupun arkeologi seolah 'bungkam', meminjam kata Purwati (2016: 41), sehingga proses perkembangan Islam di daerah ini belum dapat diketahui runtutannya.

Penyebaran Islam di Peradong jika melihat tulisan Deqy (2014: 227), yang menyebutkan ada lima periode islamisasi, menurut asumsi penulis masuk pada periode kelima, yakni pada akhir abad 16-19. Hal ini dimungkinkan pada akhir abad 16-19 islamisasi di tanah Bangka telah bervariasi. Ini disebabkan karena Islam datang dibawa oleh ulama dari berbagai daerah, termasuk Johor, Minangkabau, Banten, Palembang, dan Banjar.

Asumsi ini diawali ketika datangnya tokoh yang bernama Nahkoda Sulaiman dan Qori Batusangkar ke Mentok pada periode yang sama dengan Raja Harimau Garang, yang kemudian bersama anak dan cucunya mendirikan masjid di kota pelabuhan tersebut (Abdullah et al dalam Zulkfili, 2007: 12). Kemudian berlanjut di masa kekuasaan Kesultanan Palembang, yakni Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama yang menunjuk Datuk Dalam (Abdul Jabar) sebagai wakil sultan menjadi kepala di atas sekalian tanah Bangka dan perkara urusan agama (syari'at Nabi SAW). 

Dan Datuk Akup (Encek Wan Akup) dijadikan sebagai kepala di atas segala-gala pekerjaan membuat parit di tanah Bangka. Setelah Datuk Dalam meninggal, maka jabatan hakim diserahkan kepad Wan Akup yang lebih dikenal dengan nama Datok Rangga Setia Agama sebagai kepala pemerintahan dan hakim di tanah Bangka yang berkedudukan di Mentok (Wieringa, 1990:87).

Ketika masa Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1766), beliau mengangkat Abang Pahang dengan gelar Tumenggung Dita Menggala yang juga tetap berkedudukan di Mentok. Perubahan dari Rangga menjadi Tumenggung merupakan penyesuaian dengan sistem pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Palembang kala itu. 

Pada masa Kesultanan Palembang ini, belum bisa dipastikan Islam masuk ke Peradong, tetapi mengingat jarak antara Mentok dan Peradong yang tidak terlalu jauh, maka besar kemungkinan masyarakat Peradong telah ada yang menganut agama Islam. Hal ini dapat dimungkinkan dengan datangnya mereka ke Mentok.

Selanjutnya Mentok kedatangan ulama dari Banjar, yang pindah dan bermukim di sana karena disebabkan kehadiran Belanda di Banjar tersebut. Ulama tersebut adalah Haji Muhammad Afif keturunan ketiga dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Haji Muhammad Afif hanya di sekitaran wilayah Mentok saja. Kemudian penyebaran Islam dilanjutnya oleh anaknya yang bernama Syaikh Abdurahman Siddik. Pada masa ulama Banjar inilah kemungkinan yang paling besar Islam masuk ke Peradong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun