PERIH TAK TERKIRA
Tahun ini ada sekitar lima orang siswa kami yang kelakuannya ampun banget. Mereka semua siswa pindahan dan nyaris tidak sekolah lagi. Tantangan mendidik anak-anak super duper luar biasa ini memang sangatlah tidak gampang.Â
Satu Minggu mempelajari sifat mereka, sebelum menasehati dan menegurnya. Kami semua mencari cara bagaimana agar anak-anak ini bisa patuh dan tidak tersinggung. Khawatirnya kalau ucapan nasehat kita tidak sesuai dengan hatinya malah mereka akan lari dan tak mau lagi sekolah. Berusaha mendalami psikologinya masing-masing. Perlu kesabaran, keikhlasan dan air mata di dalamnya.Â
Betapa tidak. Semua peraturan yang dibuat tak ada arti baginya. Selalu saja dilanggar bagai melompati tanggul-tanggul yang ada dijalanan. Lonceng masuk untuk literasi Al-Qur'an adalah jam 07.00 pagi. Sementara mereka datang jam 08.00 dengan wajah yang tak bersalah.
Mengegas keretanya dengan kencang di halaman sekolah. Tanpa perasaan bersalah dan tak ada rasa hormat sedikitpun malah mengangkat keretanya ke awang-awang seakan tak ada guru dihadapannya. Untung saja kami semua tidak setruk dengan perangai mereka.
"Astagfirullah...ya Allah...aku sadar anak-anak yang engkau titipkan dengan kami adalah anak-anak super. Sangatlah pantas mereka tak laku dan dibuang di sekolah-sekolah negeri ataupun swasta. Tak pandai lagi orang mendidiknya. Apa salah kami ya Allah..kenapa mereka tidak pernah mau menghargai gurunya. Ada apa dengan dunia hari ini. Kemana akhlaknya ya Allah. Kami coba meninggikan suara sedikit saja kepadanya. Malah cakap kotor yang keluar dari mulutnya dan memukul dinding serta melemparkan kursi, diajak bicara baik-baik dikantor malah mereka tak mau"
"Lalu siapa yang akan disalahkan. Jika kami tidak mampu pula mendidiknya. Akan jadi apalah mereka diluaran sana. Aku termenung dalam diam. Menahan tetesan air mataku"
Lalu aku masuk ke kelas mereka. Aku duduk di depan mereka. Aku menangis. Aku berkata dengan terisak,Â
"Anak-anakku sayang...apakah masih ada sedikit saja rasa kasihan dihatimu terhadap ibu. Adakah rasa kasihan dihatimu terhadap mereka" aku menunjuk ke arah guru-guru yang melihatku sedang meraung menangismenasehati anak-anakku itu.
"Ibu tahu nak, ibu yang meminta kamu semua untuk sekolah lagi disini. Itu semua karena ibu sangat sayang sama kamu. Itu bukti bahwa ibu peduli sama kamu. Ibu peduli sama masa depanmu. Ibu tidak butuh kamu pintar nak. Terlalu pintar, tidak nak...bukan itu yang ibu harapkan kepadamu. Ibu cuma butuh kamu semua berakhlak nak...berakhlak mulialah nak...buanglah bandelmu. Tidak ada gunanya bandel itu nak. Bersikaplah sebagai seorang siswa"
"Mohon maaf ibu. Bukan untuk membandingkanmu. Tapi sebagai pelajaran sama kamu semua nak. Dahulu, waktu ibu sekolah, jangankan pongah, cakap kotor di depan guru. Mengangkat kepala saja kami tidak sanggup sama guru kami anakku. Kecuali kalau kami diminta. "Lihat sini nak..lihat ibu, lihat bapak" kata guru kami. Baru kami berani mengangkat kepala.