Mohon tunggu...
Daniel PutraTua Sihaloho
Daniel PutraTua Sihaloho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STFT Jakarta

Seputar Teologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

GKP: Menembus Tantangan, Merajut Keberagaman di Tanah Pasundan

1 Maret 2024   19:30 Diperbarui: 1 Maret 2024   19:32 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta--Gereja Kristen Pasundan (GKP) mengemban perjalanan yang penuh warna dalam penyebaran kekristenan di Jawa Barat, terutama di tengah masyarakat Sunda yang melekat pada agama Islam. Lahir dari inisiatif Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV), GKP membangun fondasi inovatif dengan memperkuat jemaat kecil yang dipimpin oleh warga setempat, menggambarkan keyakinan pada potensi orang Jawa Barat untuk mengendalikan takdir gereja mereka sendiri (Van den End dan Weitjens 2008, 224; Aritonang & Steenbrink 2008, 657).

Sejak pendirian GKP pada 14 November 1934, perjalanan mereka dipenuhi dengan tantangan serius dalam menyebarkan ajaran Injil di tengah mitos-mitos dan ketahanan masyarakat Sunda terhadap ajaran Kristen. Agama Islam telah menjadi bagian utuh dalam kehidupan masyarakat, memunculkan pandangan tertutup terhadap Injil dan membuat misi penginjilan di wilayah Pasundan menjadi suatu hal yang sangat sulit. H. Kraemer menggambarkan Pasundan sebagai Nova Zembla rohani, mencerminkan kesulitan luar biasa dalam menyebarkan ajaran Injil di tengah masyarakat tersebut (Soejana 1974, 34). 

Agama Kristen dianggap sebagai unsur asing yang harus ditolak, dihubungkan dengan simbol penjajahan Belanda, sehingga alih bentuk ke Kristen dianggap sebagai tindakan menyisihkan diri dari kehidupan sosial masyarakat, menimbulkan tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung (Soejana 1974, 33).

Namun, GKP tidak menyerah dalam menghadapi kesulitan tersebut. Dengan inspirasi dari budaya Sunda yang kaya, GKP berhasil menggabungkan kekristenan dengan nilai-nilai lokal yang kuat, membentuk identitas yang khas. Keberhasilan GKP dalam mempertahankan keberadaan dan berkembang pesat menjadi bukti bahwa kebudayaan lokal dapat menjadi sumber inspirasi luar biasa dalam memperkuat identitas keagamaan dan pertumbuhan jemaat, serta diakui oleh masyarakat.

Tulisan ini mencerminkan perjalanan GKP, yang bukan hanya menanggapi resistensi tetapi juga mengadaptasi diri dengan menghormati dan memasukkan nilai-nilai lokal. GKP berhasil membuktikan bahwa keberagaman dan kekayaan budaya dapat menjadi kekuatan, bukan hambatan, dal-am menyebarkan ajaran agama. Bagaimana GKP menggabungkan kekristenan dengan nilai-nilai budaya Sunda, menciptakan sebuah identitas yang unik, menjadi pelajaran berharga bagi gereja-gereja lain yang beroperasi di lingkungan yang beragam.

GKP juga memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan dan penguatan identitas keagamaan di Jawa Barat, meskipun menjadi minoritas di tengah dominasi agama Islam. Keberanian GKP untuk tetap teguh dalam prinsip-prinsipnya sambil merangkul budaya lokal membuka pintu untuk pemahaman dan kerjasama antarumat beragama. Inovasi dan kreativitas GKP dalam membangun identitas keagamaan yang kuat di tengah tantangan dan resistensi seharusnya menjadi inspirasi bagi gereja-gereja lain di seluruh Indonesia.

Melalui tulisan ini, kita dapat memahami bahwa keberagaman bukanlah hambatan, tetapi sebuah kekuatan. GKP telah membuktikan bahwa dengan menghormati dan memasukkan nilai-nilai lokal, gereja dapat menjadi pemersatu, menciptakan ruang yang inklusif bagi keberagaman agama. Tantangan yang dihadapi GKP di masa lalu menjadi pelajaran berharga bagi kita semua dalam merayakan perbedaan dan membangun kehidupan beragama yang damai dan harmonis di Indonesia.

Tulisan ini memberikan saran bahwa agama dan masyarakat dapat memetik inspirasi dari pendekatan inovatif yang diterapkan oleh GKP di Jawa Barat. Penggabungan kekristenan dengan nilai-nilai budaya lokal, sebagai yang tercermin dalam identitas unik GKP, menjadi contoh bagaimana agama dapat menjadi pemersatu dalam keberagaman. 

Refleksi kritis mengajak kita untuk menghindari pandangan tertutup terhadap perbedaan keagamaan, sekaligus merangkul dan menghormati nilai-nilai setempat. Dalam konteks Indonesia yang plural, tulisan ini mengingatkan kita bahwa tantangan dan resistensi bukanlah penghalang mutlak, melainkan peluang untuk membangun kerjasama antarumat beragama serta memperkaya kehidupan beragama yang damai dan harmonis.

Sumber Acuan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun