Mohon tunggu...
Elisya Sasty
Elisya Sasty Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Saya penikmat literasi yang percaya bahwa kata-kata bisa mengubah cara kita memandang dunia. Membaca buku memberi saya bahan renungan, menatap langit memberi ruang untuk bermimpi, dan menulis novel menjadi cara saya menyalurkan imajinasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Natuna Menjadi Ujian Kedaulatan : Mampukah Indonesia Bertahan Ditengah Tekanan Tiongkok?

8 Oktober 2025   07:00 Diperbarui: 8 Oktober 2025   02:08 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : (KOMPAS/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR (SAN))

Dalam beberapa tahun terakhir, Laut Natuna Utara menjadi pusat perhatian dalam peta geopolitik Asia Tenggara. Perairan ini tidak hanya memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga terletak di jalur strategis yang menjadi lintasan pelayaran internasional. Namun di balik nilai ekonominya, kawasan ini kerap menjadi titik gesekan antara Indonesia dan Tiongkok, terutama terkait klaim sembilan garis putus atau nine-dash line yang digagas Beijing. Klaim tersebut mencakup sebagian wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang diakui secara internasional. Ketegangan diplomatik pun beberapa kali muncul, terutama ketika kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok terdeteksi beroperasi di sekitar perairan Natuna. Pemerintah Indonesia kemudian memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut, sekaligus menegaskan bahwa tidak ada tumpang tindih wilayah dalam kedaulatan nasional. Dalam konteks ini, Natuna bukan sekadar wilayah perbatasan, melainkan simbol kedaulatan dan wujud eksistensi Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat di lautnya sendiri.

Sebagai tindak lanjut dari dinamika tersebut, Indonesia mulai mengarahkan kebijakan maritimnya pada penguatan struktur keamanan laut secara komprehensif. Melalui sinergi antara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, TNI Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla), pemerintah berupaya memastikan setiap jengkal wilayah laut diawasi dan terlindungi. Seperti yang diberitakan oleh WartaKepri, Bakamla RI secara aktif memperkuat keamanan maritim di Natuna melalui kerja sama sinergis dengan TNI AL dan pemerintah daerah. Pembangunan pos pantau baru, patroli rutin, serta pelatihan bersama aparat lokal menjadi bagian dari strategi memperkuat “mata dan telinga” negara di wilayah laut yang rawan klaim sepihak tersebut. Selain itu, kehadiran Integrated Maritime Surveillance System (IMSS)  juga semakin meningkatkan kemampuan deteksi dini atas potensi pelanggaran batas wilayah atau aktivitas ilegal. Semua langkah ini menunjukkan bahwa keamanan maritim Indonesia kini tidak lagi bersifat reaktif, tetapi mulai mengarah pada model pertahanan adaptif yang berbasis kolaborasi dan teknologi.

Namun penguatan militer dan patroli laut bukan satu-satunya agenda yang dijalankan pemerintah. Dalam visi yang lebih luas, Indonesia kini juga mengembangkan pendekatan yang disebut blue economy atau ekonomi biru. Konsep ini menekankan keseimbangan antara eksploitasi sumber daya laut dan keberlanjutan ekosistemnya. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meluncurkan berbagai program yang mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan, seperti penataan wilayah tangkap ikan, pembatasan kapal asing, dan peningkatan kapasitas nelayan lokal. Data dari KKP (2024) mencatat bahwa sektor perikanan tangkap di Natuna menyumbang sekitar 4,3% terhadap total produksi nasional, sementara potensi gas bumi di blok Natuna Timur diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik. Angka tersebut menunjukkan bahwa Natuna bukan hanya penting dari sisi pertahanan, tetapi juga menjadi tumpuan masa depan ekonomi maritim Indonesia. Dengan demikian, menjaga stabilitas di kawasan ini tidak hanya berarti menjaga perbatasan, tetapi juga mengamankan salah satu pilar utama ketahanan ekonomi nasional.

Di sisi lain, upaya penguatan keamanan laut sering kali menghadapi tantangan koordinasi dan keterbatasan sumber daya manusia di lapangan. Banyak pos pengawasan di Natuna dan Kepulauan Riau yang masih kekurangan personel dan fasilitas pendukung. Selain itu, tumpang tindih kewenangan antarinstansi, seperti antara Bakamla, KKP, dan TNI AL, masih menjadi hambatan klasik dalam efektivitas penegakan hukum di laut. Indonesia memang tegas menolak klaim sepihak Tiongkok, tetapi di sisi lain, hubungan ekonomi dan investasi kedua negara masih sangat erat. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa Tiongkok tetap menjadi salah satu dari tiga besar investor asing di Indonesia hingga triwulan I tahun 2025. Oleh karena itu, keseimbangan antara diplomasi dan pertahanan laut menjadi hal yang krusial. Pemerintah perlu memastikan bahwa strategi maritim di Natuna tidak dimaknai sebagai langkah konfrontatif, melainkan sebagai bentuk penegasan posisi hukum sekaligus upaya menciptakan stabilitas regional. Dalam forum-forum ASEAN seperti ASEAN Maritime Forum dan East Asia Summit, Indonesia dapat memanfaatkan peran kepemimpinannya untuk mendorong mekanisme confidence building di kawasan Laut Cina Selatan. Langkah diplomatik semacam ini penting agar isu Natuna tidak menjadi pemicu konflik baru, melainkan wadah memperkuat solidaritas maritim ASEAN.

Lebih jauh, strategi maritim Indonesia di Natuna juga seharusnya melibatkan masyarakat lokal sebagai aktor penting dalam menjaga kedaulatan. Pendekatan keamanan yang hanya melibatkan aparat negara sering kali melupakan bahwa nelayan dan masyarakat pesisir adalah garda terdepan dalam deteksi dini pelanggaran wilayah. Program Maritim Community Watch yang sempat diujicoba oleh Bakamla dan pemerintah daerah pada 2023 bisa dijadikan model pengawasan partisipatif yang efektif. Dengan membekali nelayan alat komunikasi dan pelatihan dasar keamanan laut, mereka tidak hanya menjadi pelaku ekonomi, tetapi juga bagian dari sistem keamanan nasional. Keberhasilan pendekatan semacam ini juga bergantung pada pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Jika mereka memiliki kesejahteraan dan rasa kepemilikan terhadap wilayah lautnya, maka rasa nasionalisme dan kesadaran menjaga laut akan tumbuh secara alami tanpa perlu paksaan negara.

Dalam pandangan saya, arah kebijakan maritim Indonesia di Natuna memang sudah berada di jalur yang benar, namun masih perlu penguatan dari sisi diplomasi dan tata kelola. Penguatan militer dan teknologi memang penting, tetapi tidak boleh mengesampingkan diplomasi maritim dan pemberdayaan masyarakat sebagai elemen kunci dalam menjaga kedaulatan. Indonesia memiliki peluang besar untuk menunjukkan diri bukan hanya sebagai kekuatan maritim regional, tetapi juga sebagai pelopor blue diplomacy yang mengedepankan kolaborasi, riset bersama, dan pengelolaan laut berkelanjutan. Laut Natuna seharusnya tidak terus-menerus menjadi arena rivalitas, melainkan simbol kedewasaan Indonesia dalam menyeimbangkan antara kepentingan kedaulatan dan kesejahteraan. Jika visi ini dapat dijalankan secara konsisten, maka Natuna bukan hanya akan menjadi benteng pertahanan, tetapi juga laboratorium masa depan ekonomi biru Indonesia yang berdaulat, lestari, dan inklusif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun