Mohon tunggu...
Elektron Bebas
Elektron Bebas Mohon Tunggu... Ilmuwan - Bukan bot

Seseorang

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Menatap Lalu Lintas Jakarta

29 Oktober 2019   13:14 Diperbarui: 29 Oktober 2019   13:34 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Secara sederhana dalam sebuah transaksi ekonomi, ada dua cost yang diperhitungkan, private cost yaitu cost yang dibayar konsumen yang terlibat, dan external cost yaitu cost yang harus dibayar masyarakat yang tidak terlibat transaksi itu, berupa polusi, penyakit, dll. Keduanya digabung menjadi social cost, harga holistik sebenarnya dari sebuah transaksi. 

Bila social cost jauh melebihi private cost, produk itu akan membuat masalah sosial atau lingkungan. Terjadilah market failure, tindakan individu/perusahaan malah membuat kontribusi nilai ekonomi negatif, di sinilah dalam sistem ekonomi kapitalis pemerintah harus berperan melakukan intervensi, bisa melalui cukai, pelarangan, regulasi, dll. Banyak caci maki terhadap kapitalisme terjadi karena pemerintah gagal intervensi dengan benar, baik karena lobi, oligarki, atau inkompetensi.

Ada banyak contoh untuk market failure ini (disclaimer : semua angka imajiner). Rokok misalnya, harga produksi termasuk profit perusahaannya mungkin cuma 8000, tapi biaya kesehatan akibatnya bisa mencapai 16000 (semua angka imajiner). Bila rokok hanya dijual 8000 sesuai private cost, benar perusahaan sudah mencapai profit, pemerintah dapat uang dari pajak, tapi social cost yang masif dari penyakit akibatnya tidak tertanggung, dan akhirnya kembali ke masyarakat lagi. 

Maka pemerintah menerapkan cukai, meski harganya yang 12000 belum mencapai social cost sebenarnya. Contoh berikut adalah penyamakan kulit, mungkin harga produksinya 50000, tapi polusi yang dihasilkannya mencapai 50000, maka pemerintah membuat regulasi agar industri tersebut wajib punya pengelolaan limbah sehingga biaya penanganan polusi itu masuk dalam harga jual ke konsumen. 

Contoh yang kita masih gagal : plastik, batubara, bensin. Semua dibiarkan laris terjual dengan memperhitungkan private cost saja. Ada yang karena memang kita baru sadar akan dampak buruknya, ada yang karena lobi perusahaan, seperti rokok di Amerika yang lobinya bisa membuat mereka baru membayar ganti rugi tahun 1998, 30an tahun sejak efek buruk merokok diketahui.

Pasar kendaraan bermotor, di kota besar, merupakan sebuah market failure. Untuk setiap mobil atau motor yang terjual ada social cost berupa polusi dan kemacetan yang berat, yang mungkin tidak tercermin dalam pajak kendaraan bermotor saat ini. Di sinilah peran pemerintah kota diperlukan.

Bagaimana caranya? Ada beberapa cara. Menaikkan private cost relatif terhadap manfaat yang diterima konsumen, atau menurunkan manfaatnya. Atau memberikan alternatif sehingga private cost terasa tidak menarik. Atau mengenakan fee sehingga mencerminkan social cost. Mexico City dulu tahun 89 mengambil cara pertama, Hoy no Circula, mengenakan sistem nomer plat tertentu dilarang jalan di hari tertentu. 

Manfaat memiliki mobil pun jadi tinggal sebagian dari manfaat awalnya. Ternyata mekanisme ini punya efek samping, banyak yang menumpuk mobil lama, sehingga biaya maintenance bulanan terbagi untuk dua mobil, polusi mesin makin berat. Cara kedua adalah memperbaiki transportasi umum, yang tentu perlu banyak waktu, tenaga, dan dana, dan sering penggusuran. Ini adalah solusi baik, jangka panjang, dengan political cost yang tinggi. 

Cara ketiga adalah yang paling banyak diterapkan di berbagai negara maju karena dianggap paling efektif, yaitu mengenakan congestion fee. London mengenakannya, pada jam tertentu masuk di kawasan tertentu di London dikenakan tarif, makin mahal bila kawasan itu makin macet. Singapura mengenakan ERP, Electronic Road Pricing. Jadi percontohan untuk banyak kota besar di dunia. Pemerintah kota juga senang dapat dana tambahan.

Lalu ada DKI Jakarta. Semua sudah dicoba, sistem ganjil genap, MRT, transjakarta. ERP sudah direncanakan, namun menurut Pak Anies, bukan prioritas. Padahal dana tambahan dari ERP ini bisa jadi sumber pendapatan Pemprov. Instead, Pemprov DKI membangun jalur sepeda dan melebarkan trotoar. Ini adalah solusi out of the box. Menurunkan manfaat dari memiliki kendaraan bermotor, membuat private costnya terasa lebih mahal. 

Saya tidak tahu alasannya, apa karena merasa "mengenakan tarif untuk jalan biasa" bertentangan dengan slogan beliau yaitu keberpihakan? Apa bedanya karena uang renovasi jalan ini yang puluhan miliar juga diambil dari anggaran pemprov, uang rakyat. Costnya tinggi yang jelas, opprtunity cost dari ERP yang hilang/tertunda, dan biaya renovasi jalan sendiri. Mungkin beliau tidak ingin masuk jalan tertentu tergantung dengan rakyat punya uang atau tidak. Padahal potensi pendapatan dari ERP dan penghematan dari biaya renovasi bisa digunakan untuk banyak kepentingan rakyat. Entahlah. Waktu yang akan menjawab ini solusi out of the box atau out of his mind.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun