Mohon tunggu...
Ainul Adaniyah
Ainul Adaniyah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tanpamu,dia dan mereka,,,,kisah ini tak kan pernah ada...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Halal Bihalal Versi Anak Rantauan

13 Agustus 2014   21:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:38 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merantau merupakan suatu pilihan hidup yang sulit bagi sebagian orang karena harus rela berada jauh dari orang – orang yang dicintainya, yaitu keluarganya. Namun bagi sebagian masyarakat pedesaan seperti desa tempat tinggal saya ini merantau merupakan hal yang sudah dianggap biasa bahkan mayoritas pemudanya memilih hidup menjadi anak perantauan yakni seekitar 60% yang katanya disana bekerja sebagai kuli bangunan ( laki – laki ) dan PRT ( perempuan ) di negara Malaysia dan Qatar dengan iming – imingan gaji yang menjanjikan. Alasan mereka adalah pendapatan yang diperoleh dari hasil bekerja didesa masih jauh dari cukup untuk menghidupi anak & istrinya atau merasa panas dengan tetangga sebelah yang sukses dan hidup serba kecukupan. Maklum saja warga desa saya mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, buruh penggilingan tepung tapioka, montir  dan kuli bangunan. Selain itu, moment idul fitri juga dijadikan alasan sebagai sarana halal bihalal untuk memupuk persaudaraan sesama anak perantauan. Tapi masih bisakah rasa syukur itu dianggap benar ketika mereka mensyukuri penghasilan hasil rantauan dengan bergoyang dengan para biduan seksi alias dangdutan yang tentunya harus merogoh saku dalam – dalam. Pada awalnya mungkin bisa dikatakan menghibur karena bisa membuat siapa saja menjadi terhibur, tapi tanpa disadari ujung – ujungnya mereka juga mengundang khalayak untuk tawuran. Lihat saja, ketika ada dangdutan di berbagai tempat pasti yang menjadi hot issue nya adalah tentang tawuran. Bahkan teman SMA kakak saya yang pernah bekerja sambilan sebagai biduan dangdut pernah cerita kalau moment yang paling ia dan teman sesama biduannya tunggu – tunggu pas lagi manggungya  pasti tawurannya. Lucu juga ya ternyata para biduan ini. Tawuran ini bisa dipicu adanya perseteruan pemuda antar desa, kesenggol sewaktu joget ataupun terkena ujung rokok sesama teman joget. Kalau dipikir – pikir sebenarnya kesenggol dengan sesama teman joget kan hal yang wajar, tapi kok berujung tawuran ya? Akhirnya pertanyaan saya ini terjawab setelah mendengar cerita dari para tetangga bahwasannya kalau ada dangdutan tak lengkap rasanya jika tak ditemani minuman keras. Tentu sangat mudah mereka dapatkan karena telah dijual bebas di pasaran. Inikah makna syukuran & halal bihalal versi anak rantauan? Toh mereka juga jadi repot sendiri kalau acara menjadi rusuh karena banyaknya tawuran padahal dalam satu acara dangdutan tidak hanya ada sekali dua kali tawuran tetapi bisa jadi berkali – kali. Tak jarang banyak nyawa yang melayang karena tawuran baik pelaku tawuran itu sendiri maupun jiwa – jiwa yang sama sekali tak bersalah. Selain itu rumah warga sekitar lokasi pun tak luput menjadi sasaran amarah para petawur. Ironisnya, tak ada rasa jera yang mendera  bahkan hiburan dangdutan kini menjadi acara paten tahunan yang terasa seperti sayur tanpa garam bagi penduduk desa saya jika tak ada ritual dangdutan minimal satu kali dalam satu tahun. Tak hanya saat lebaran, didesa saya juga ada acara sedekah bumi atau sering disingkat kabumi pada bulan dzulqo’dah yang mana pasti ada wayang, ketoprak ( drama ala jawa) plus dangdut yang pastinya tak ketinggalan. Malah dangdutan dijadikan ajang bergengsi bagi warga karena nantinya bisa diceritakan ke warga desa sebelah bahwa biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan dangdutan menghabiskan dana sekian juta yang saya tak pernah tau rinciannya untuk apa saja. Padahal banyak warga miskin didesa saya, mengapa syukuran mereka tidak dengan cara menyantuni fakir & miskin saja dengan harapan rizki yang didapat dari hasil merantau menjadi berkah. Akankah dangdutan berujung darah ini akan tetap menjadi hiburan favorit sepanjang sejarah? Desa saya mungkin telah lama meringis menahan tangis menyaksikan warganya yang moralnya terus terkikis. Boleh saja dangdutan asal tertib tanpa tawuran. Sah – sah saja dangdutan tapi jangan mengatasnamakan halal bihalal karena makna halal bihalal yang sejati ialah merajut kembali tali silaturrahmi antar umat Islam agar bisa menjadi umat yang tahan banting terhadap berbagai terpaan konflik sesama umat Islam maupun dengan penganut agama lain.


Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun