Mohon tunggu...
Ekri Pranata Ferdinand Baifeto
Ekri Pranata Ferdinand Baifeto Mohon Tunggu... Human Resources - Timor Tengah Selatan

Seorang pengagum berat Cristiano Ronaldo dan pemakan segala kacuali durian. Menyelesaikan studi S1 Pendidikan Fisika di Institut Pendidikan SoE, S2 Pendidikan Fisika di Universitas Pendidikan Indonesia, dan saat ini sedang menempuh studi doktoral (S3) di Universitas Pendidikan Indonesia serta Magister Ministry Marketplace (S2) di Sekolah Tinggi Theologi Bandung. Menyukai banyak hal; sains, musik, sepak bola, seni, dan lain-lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik Slogan Anti Kafir

8 Juni 2020   18:16 Diperbarui: 8 Juni 2020   18:39 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebutan kafir dan slogan anti kafir merupakan suatu masalah serius di Indonesia yang hingga hari ini masih terus ada. Cap atau label ini secara terang-terangan diteriakan oleh sekelompok orang atau golongan tertentu kepada orang yang tidak sepaham dengan golongan atau aliran mereka.

Dengan kondisi negara yang majemuk ini, sebutan kafir maupun anti kafir sebenarnya suatu ujaran kebencian yang tidak seharusnya dilakukan.

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kafir? Benarkah kafir merujuk pada ketidaksepahaman dengan kelompok atau golongan tertentu? 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "kafir" artinya: orang yang tidak percaya kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Singkatnya orang kafir artinya orang yang tidak ber-Tuhan atau tidak peercaya kepada Tuhan.

Merujuk pada terjemahan KBBI tersebut, ternyata kafir bukanlah tentang perbedaan golongan atau aliran. Kita juga tidak dapat mengatakan dengan pasti—dan bukan juga hak kita—apakah orang lain itu kafir atau percaya Tuhan.

Di sosial media sering dijumpai slogan-slogan anti kafir dan sebagainya. Kebanyakan ujaran seperi ini berbau rasis dan ditujukan kepada etnis-etnis tertentu. Ada juga yang bahkan menyebut bangsa, agama dan sebagainya.

Kebencian semacam ini sangat bersifat subjektif. Kendati merupakan ujaran kebencian, tidak ada tindakan hukum sama sekali bagi pelakunya—mungkinkah karena minoritas? Entahlah.

Namun dibalik semua itu, pernahkah kita sadari jika ujaran anti kafir yang selama ini diteriakan itu tidak sejalan dengan apa yang dipraktikan? Banyak orang menyerukan anti kafir tetapi mencintai dan menggunakan produk-produk buatan kafir. Inilah realita yang terjadi.

Sedikit pertanyaan menggelitik. Berapa banyak produk buatan mereka [orang kafir] yang kita nikmati? Jika diamati, mulai dari barang rumah tangga, peralatan informasi dan komunikasi, hingga alat-alat trasportasi seperti mobil, kereta listrik, dan pesawat terbang merupakan buatan orang-orang yang sering disebut kafir itu.

Satu hal yang lebih lucu lagi adalah disaat orang-orang tersebut menyerukan anti kafir, mereka secara tidak sadar menggunakan produk buatan orang kafir untuk meyebarkan ujaran-ujaran tersebut.

Ujaran kafir merupakan bentuk lain dari sikap rasisme. Label kafir muncul lantaran orang-orang ini dianggap mengeruk kakayaan dan menguasai bangsa ini. Anggapan ini terlalu sempit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun