Dilarang Melugu
"Lugu itu murni, spontan dan berkelanjutan. Melugu itu direncanakan seperti melucu. Melugu itu kalau pakai ilmu namanya menipu, kalau tak pakai ilmu namanya cari gara-gara" ujar Mitruk pada forum Rembug Tuwo.
"Lha masa iya di kampus kebaikan kalah nilainya sama kepatuhan?" protes Gotrek.
"Baik kalau enggak patuh kan berabe? Masa iya kalau ada maling sembunyi mau ditolong?" Nolong iya baik, tapi jangan keliru paham" timpal Pakpang.
"Lha dia itu mahasiswa bukan maling. Masa iya, perbandingannya sama maling?" sanggah Gotrek keberatan.
"Hahaha ya mahasiswa juga banyak yang maling. Malingnya canggih pula, meskipun belum secanggih seniornya" intrik Mitruk.
"Jadi apa persoalannya? Di kampus ini apa-apa dilarang. Pakai sandal dilarang masuk kelas atau mengurus administrasi, pakai kaos oblong dilarang, rambut cowok gondrong dilarang, pakai dasi dianggap keren? Padahal di kelas yang lebih penting perkara ide gagasan daripada perkara panjang rambut ya? Kalau sandal jelas sama fungsinya seperti sepatu, kaos juga sama fungsinya seperti kemeja, kalau dasi apa pula fungsinya? Biar keren? Biar sopan? Bukannya sopan santun lebih keurusan etika? Urusan adab? Bukan urusan simbol?" tanya Gotrek.
"Lha, jadi apa persoalannya?"
"Lha simbol juga penting buat manusia. Kalau manusia kagak punya simbol bagaimana dia bisa memperkuat iktikad baiknya kesesamanya?" ujar Mitruk.
"Lha apa-apa dilarang begitu. Gondrong dilarang, ngentit duit proposal dibiarin, pakai sandal dan kaos oblong dikeluarin, nyontek ujian dibiarin? Parahnya lagi melugu juga dilarang? Duh!" geram Gotrek.
"Lugu oke. Tapi melugu? Jangan. Orang-orang juga paham kalau orang lugu kagak diterima di kampus. Kampus negeri kek, kampus swasta kek, kampus luar negeri kek, kampus rakyat kek! Lha bagaimana? Lha di mata orang pintar, orang lugu dibilang bodoh dan gampang ditipu. Di mata orang gedean, orang lugu dianggap kecil."