Mohon tunggu...
Eko Nur Cahyanto
Eko Nur Cahyanto Mohon Tunggu... UIN Raden Mas Said Surakarta

anak kaki gunung 🗻

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Anlisis Kasus First Travel dalam Prespektif Filsafat Hukum Positivisme

10 Maret 2025   05:22 Diperbarui: 9 Juni 2025   07:32 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

First Travel, merupakan biro perjalanan umrah yang didirikan pada tahun 2009, menawarkan paket umrah dengan harga jauh lebih murah dibandingkan standar pasar, mereka menarik banyak calon jamaah dengan skema bisnis Ponzi, di mana dana dari calon jamaah baru digunakan untuk memberangkatkan jamaah sebelumnya. Akibatnya, lebih dari 58.000 calon jamaah gagal diberangkatkan, dengan total kerugian mencapai Rp 905 miliar.

First Travel menggunakan skema penipuan dengan menawarkan janji umrah murah, tetapi gagal memenuhi kewajiban mereka. Dari Desember 2016 hingga Mei 2017, hanya 14.000 jamaah yang diberangkatkan, sementara sisanya mengalami kerugian finansial dan emosional. Pada tahun 2017, pemerintah melalui Satgas Waspada Investasi menghentikan operasional First Travel, dan kedua pendirinya dijatuhi hukuman penjara serta denda. Meskipun aset First Travel telah disita untuk negara, Mahkamah Agung kemudian memutuskan bahwa aset tersebut harus dikembalikan kepada para korban, meski realisasinya masih menghadapi kendala.

Dari perspektif positivisme hukum, kasus First Travel menegaskan beberapa prinsip utama yaitu; Fokus pada Hukum Positif; positivisme hukum menekankan bahwa hukum adalah aturan yang dibuat oleh otoritas berwenang dan harus ditaati tanpa mempertimbangkan aspek moral. Dalam kasus First Travel, penegakan hukum didasarkan pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Hukum Tertulis; First Travel melanggar UU Perlindungan Konsumen karena menawarkan layanan yang tidak sesuai dengan peraturan, serta melanggar regulasi penyelenggaraan ibadah umrah. Pengadilan sebagai Implementasi Hukum Positif; Hukuman terhadap pemilik First Travel adalah wujud implementasi dari hukum positif berdasarkan bukti konkret. Terdapat pemisahan Hukum dan Moral; dalam positivisme hukum, meskipun tindakan First Travel dianggap tidak bermoral, fokus utama adalah pelanggaran hukum yang telah terjadi. Penegakan Hukum sebagai Tujuan Utama; dilakukan untuk memastikan kepastian hukum dan memberikan keadilan kepada masyarakat yang menjadi korban.

Meskipun berbagai kritik terhadap positivisme hukum muncul, aliran ini masih menjadi paradigma utama dalam sistem hukum di Indonesia. Hal yang mendasari adalah; Positivisme hukum menekankan bahwa hukum harus tertulis dan sistematis untuk memberikan kepastian hukum. Di Indonesia, peraturan hukum dikodifikasikan dalam undang-undang yang menjadi pedoman utama dalam penyelesaian perkara. Hukum yang objektif dan terpisah dari moralitas memberikan kepastian hukum yang lebih jelas. Hal ini memungkinkan hukum diterapkan secara rasional tanpa bias subjektif. Dengan adanya aturan yang tertulis, penegakan hukum menjadi lebih konsisten, sehingga dapat meminimalisir ketidakpastian dalam masyarakat. Hakim di Indonesia lebih cenderung menerapkan hukum berdasarkan teks undang-undang, sesuai dengan prinsip positivisme hukum. Meskipun terdapat aliran hukum lain seperti hukum progresif dan naturalisme hukum, pendekatan positivisme tetap mendominasi karena strukturnya yang lebih mapan.

Sehingga mazhab hukum positivisme tetap relevan dalam hukum Indonesia karena memberikan kepastian dengan menjadikan hukum tertulis sebagai sumber utama. Dalam kasus First Travel, penerapan hukum terhadap pelaku dilakukan berdasarkan ketentuan yang jelas dalam undang-undang. Mazhab hukum positivisme memungkinkan hukum untuk ditegakkan secara objektif tanpa dipengaruhi oleh nilai moral yang subjektif. Meskipun kasus First Travel secara moral sangat merugikan korban, hukum tetap ditegakkan berdasarkan peraturan tertulis yang berlaku. Legitimasi negara dalam menyusun dan menerapkan hukum, yang berbasis positivisme memberikan pedoman yang jelas bagi penegak hukum dalam menangani kasuskasus hukum, sehingga tidak terjadi ketidakpastian dalam penerapan aturan.

Kasus First Travel mencerminkan penerapan positivisme hukum dalam sistem peradilan Indonesia, di mana hukum ditegakkan berdasarkan peraturan tertulis dan proses peradilan yang objektif, tanpa mempertimbangkan aspek moralitas. Meskipun positivisme hukum memiliki keterbatasan dalam mencapai keadilan substantif, prinsip ini tetap dominan karena memberikan kepastian hukum dan menjaga ketertiban masyarakat. Dalam kasus ini, hukum diterapkan secara objektif sesuai dengan undang-undang yang berlaku, memastikan kepastian dan legitimasi dalam penegakan hukum di Indonesia.

HES 4D_232111142

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun