Mohon tunggu...
Eko Oesman
Eko Oesman Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja-Pram

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seandainya Beras Bisa Bicara

16 Januari 2018   08:06 Diperbarui: 17 Januari 2018   17:01 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Ketika mahasiswa dulu, saya sempat mengenyam kehidupan menjadi bagian dari keluarga besar senat mahasiswa. Yang mengasyikkan tentu saja saat diskusi membuat rencana aksi atau kegiatan kampus lainnya. Beragam argumentasi dikeluarkan untuk meyakinkan lawan bicara. 

Bahkan saking semangatnya ada seorang teman sampai digelari "speak maniac" apa saja masalah langsung diberi komen. Untung saat itu group WA belum tersedia. Jika ada kemungkinan anggota lain akan mundur secara teratur.

Bukannya tidak boleh aktif bicara tapi dalam konteks tertentu memberi komentar perlu kecerdasan emosional, ketenangan batin dan kemampuan pengendalian diri lainnya. 

Liat saja gayanya Johan Budi juru bicara presiden. Setiap kata yang keluar telah disaring sedemikian rupa, sistematis dan disampaikan tanpa ekspresi berlebihan. Saya belum pernah melihat sang Johan tertawa terbahak-bahak. Johan seperti perpaduan mantan Mensesneg Moerdiono dan Dewi Fortuna Anwar. Hati-hati menuju membosankan tapi ditunggu penampilannya.

Beda lagi penampilan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah. Salah satu dari dua juru bicara ganteng yang membuat para suami cemburu kepada istrinya. Termasuk saya. Suatu saat si Ummi pernah berkata, "Kasihan ya bi si Febri tampil terus di TV, apa nggak capek dia ya?" Padahal saat itu saya baru saja membuka jaket, menaruh helm dan menyeruput air putih hangat yang dihidangkan Ummi. 

Sekilas saya menoleh ke layar TV dan memberi komentar, "Ya sama lah mi seperti Abi, sebagai abdi negara kita harus siap tampil melayani masyarakat sesuai bidang kita kapan saja". Sejenak si Ummi tersipu, merasa tersindir dan tentu saja sebuah pelukan hangat di malam itu menghapus kecemburuan yang sempat menyembul. Allahuakbar.

Dalam sebuah diskusi di Forum Merdeka Barat yang digagas Menkominfo beberapa bulan lalu salah satu narasumber menyampaikan bahwa pola komunikasi para menteri perlu diperbaiki. Hasil analisa terhadap pemberitaan di media didapatkan hasil bahwa untuk kasus tertentu komentar para menteri cenderung bertentangan.

Presiden cepat tanggap dengan memberikan pernyataan bahwa semua masih normal dan di bawah kendali beliau. Boleh saja presiden beranggapan demikian, faktanya masyarakat sering bingung. Apa artinya swasembada, pasokan beras aman, gudang Bulog penuh, akan dilakukan operasi pasar jika pada akhirnya keran impor beras dibuka juga?

Dalih hanya jenis beras khusus yang diimpor juga susah dikunyah masyarakat. Harga yang awet bertengger di atas harga eceran tertingi membuat isu ini gampang digoreng. Nasi sudah menjadi bubur. 

Seandainya saya masih bisa mengingatkan pak menteri mungkin saya akan menyampaikan seperti ini. "Teman-teman wartawan mari kita bersabar sedikit menunggu hasil kajian BPS melalui metode baru penghitungan produksi padi melalui Kerangka Sampel Area (KSA) untuk mendapatkan data produksi padi yang lebih akurat. Mari kita beri dukungan penuh kepada BPS untuk berdaulat menyampaikan datanya".

Kalimat di atas bisa dilanjutkan dengan, "Terkait kenaikan harga beras akhir-akhir ini mari kita sikapi dengan bijak, para produsen yang menyimpan stok segera keluarkan barang simpanannya, pengusaha transportasi, hayu utamakan dulu untuk mendistribusikan beras, masyarakat untuk sedikit berhemat, beli secukupnya, yang biasa memborong sekarung beras, sekarang cukuplah lima atau sepuluh kilo saja. Para petani, silahkan nikmati kenaikan harga ini sebentar saja, jangan lama-lama kasihan juga para pembelinya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun