Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Kilas Sejarah 28 September, Hari Kereta Api Nasional

28 September 2018   10:19 Diperbarui: 28 September 2018   10:33 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 28 September 1945, sekitar sebulan setelah proklamasi, saat  itulah para pegawai kereta api Indonesia dapat mengambil alih Balai  Besar Kereta Api Bandung dari kuasa kolonial Jepang. Dari momen  itu, maka 28 September ditetapkan sebagai Hari Kereta Api Nasional di  Indonesia. Hal ini sekaligus menandai berdirinya Djawatan Kereta Api  Indonesia Republik Indonesia (DKARI).

Sejarah kereta api Indonesia berawal ketika pencangkulan pertama  jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) di Desa  Kemijen oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr LAJ Baron Sloet van de  Beele pada 17 Juli 1864.Kemudian pada 1876, jalur pertama kereta api  Indonesia di Desa Kamijen, Semarang, yang saat ini menjadi Stasiun  Gudang Semarang dioperasikan. Pada masa itu, kereta api yang  digunakan masih menggunakan mesin uap pada lokomotif kereta, di mana  petugasnya bekerja dengan membakar kayu dan menjaga api tetap menyala.

Bagaimana Sejarah Perkeretaapian hingga menjadi KAI

Dilansir dari news.okezone.com, Pergantian nama  mengacu pada  perjanjian damai Konfrensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, bahwa harus  dilakukan pengambilalihan aset-aset milik pemerintah Hindia Belanda.  Pengalihan dalam bentuk penggabungan antara DKARI dan SS/VS menjadi  Djawatan Kereta Api (DKA) tahun 1950.

 Lalu pada tanggal 25 Mei  DKA berganti menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Pada tahun  tersebut mulai diperkenalkan juga lambang Wahana Daya Pertiwi yang  mencerminkan transformasi Perkeretaapian Indonesia sebagai sarana  transportasi andalan guna mewujudkan kesejahteraan bangsa tanah air. Selanjutnya pemerintah mengubah struktur PNKA menjadi Perusahaan  Jawatan Kereta Api (PJKA) tahun 1971. Dalam rangka meningkatkan  pelayanan jasa angkutan, PJKA berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum  Kereta Api (Perumka) tahun 1991. Tahap terakhir, perumka berubah  menjadi Perseroan Terbatas, PT. Kereta Api (Persero) tahun 1998. Pada  tahun 2011 nama perusahaan PT. Kereta Api (Persero) berubah menjadi PT.  Kereta Api Indonesia (Persero) dengan meluncurkan logo baru.

Kereta Api dan Hijrah TNI masa Perang Kemerdekaan

Sesuai Perjanjian Renville Maka terjadi Pemindahan tentara gerilya Indonesia atau penghijrahan sejumlah  30.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah "pedalaman"  republik secara strategis sangat merugikan bagi RI.Belanda menganggap bahwa daerah-daerah atau kota-kota propinsi,  keresidenan, kabupaten, dan kewedanan yang diduduki tentara Belanda  sejak tanggal 21 Juli 1947 merupakan daerah kekuasaan Belanda. Oleh  sebab itu, Belanda menuntut agar gerilya TNI harus di tarik dari  daerah-daerah pendudukan Belanda dan dipindahkan ke daerah yang belum  diserang oleh Belanda.

Namun, pihak Angkatan Perang RI atau TNI tidak mengakui adanya "garis  van mook" tersebut, karena daerah yang dikuasai Belanda sejak 21 Juli  1947 itu hanyalah kota-kota dan jalan-jalan raya saja. Daerah-daerah  yang terletak hanya beberapa kilometer di luar kota  itu secara de facto masih merupakan daerah republik.

Dalam hal ini, hasil dari persetujuan Renville, Belanda terus menekan  Indonesia, sehingga puluhan ribu tentara gerilya kita harus dipindahkan  dari kantong-kantong pertahanannya ke seberang "garis van mook".  Persetujuan Renville juga menimbulkan suara pro dan kontra secara luas  dalam masyarakat Indonesia, terutama rasa tidak puas yang secara  langsung dirasakan dikalangan anggota-anggota TNI yan terkenan  persetujuan gencatan senjata. Persetujuan tersebut dianggap sangat  merugikan dan melemahkan kedudukan RI dan bersifat memecah belah  persatuan RI. Pasal-pasal yang dianggap sangat merugikan Angkatan Perang  RI itu antara lain berbunyi sebagai berikut :

  1. Bahwa suatu perintah tinggal tetap (stand fast) dan  dikeluarkan oleh kedua belah pihak masing-masing serta serentak dengan  segera sesudah ditandatangani persetujuan ini dan berlaku sepenuhnya  dalam empat puluh delapan jam. Perintah itu berlaku untuk  pasukan-pasukan kedua belah pihak disepanjang garis daerah-daerah  seperti dimaksud dalam Proklamasi Pemerintah Hindia Belanda pada 29  Agustus 1947, yang akan dinamakan garis status quo.
  2. Bahwa terlebih terdahulu dan buat sementara waktu akan dibentuk  daerah-daerah yang akan dikosongkan oleh tentara (demilitarized zones),  pada umumnya sesuai dengan garis status quo, daerah-daerah itu pada  pokoknya mengenal daerah-daerah diantara garis status quo, dan disatu  pihak kedudukan Belanda yang terkemuka dan dilain pihak garis kedudukan  Republik yang terkemuka lebarnya rata-rata daerah itu kira-kira  bersamaan.

Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Letnan Jenderal Oerip  Soemohardjo memandang bahwa hasil-hasil yang dicapai dalam persetujuan  Renville itu seakan-akan pemerintah tidak menghargai kemampuan  tentaranya sendiri dan rakyat yang setia kepada republik.

Meskipun dirasakan pahit, namun TNI tetap melaksanakan keputusan  politik yang telah diambil oleh pemerintah dengan keteguhan prinsipnya  bahwa"politik negara adalah politik tentara", sehingga bagaimanapun juga  rasa kecewa Angkatan Perang RI (TNI), tetap melaksanakan hijrah dengan  tertib. Dalam hal ini Panglima Besar Jenderal Soedirman sendiri yang  telah memberikan istilah pemindahan tentara ke daerah RI itu dengan nama  "hijrah". Hal ini untuk memberikan keyakinan kepada para gerilyawan TNI  yang dipindahkan, bahwa yang mereka lakukan itu adalah sama seperti apa  yang telah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan kaum Ansor pada jaman Nabi  Muhammad S.A.W. Gerakan yang mereka lakukan itu sama sekali bukan  merupakan gerakan mundur atau mengungsi. Dengan menggunakan istilah  "hijrah" itu pula Panglima Besar Jenderal Soedirman ingin menanamkan  keyakinan kepada diri para gerilya TNI, bahwa pada saatnya nanti mereka  akan kembali ke daerah pertahanan asalnya dengan membawa kemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun