Ketika Trotoar Bukan Lagi Milik Pejalan Kaki
Oleh: Eko Setyo Budi
Kita semua adalah pejalan kaki. Berjalan kaki adalah moda transportasi dasar dan umum di semua masyarakat tidak membedakan laki-laki, perempuan, anak-anak, muda, tua, orang-orang yang mobilitasnya terbatas (difabel), hampir semua perjalanannya berawal dan berakhir dengan berjalan kaki.
Hak pejalan kaki di trotoar kadang kita terganggu karena dimanfaatkan untuk kegiatan lain seperti tempat jualan atau parkir kendaraan.
Saya yang suka jogging di pagi hari merasa terganggu banyak pedagang kaki lima berjualan di trotoar, sehingga saya harus mengalah berjalan di jalan aspal lalu lintas kendaraan.
Parahnya kendaraan mereka yang makan minum di warung kaki lima memakirkan di tepi jalan berderet-deret karena banyak pembeli.
Trotoar dipenuhi penikmat kuliner yang duduk-duduk di atas trotoar, akhirnya saya terpaksa berjalan agak tengah jalan karena mobil banyak parkir di situ.Â
Tentu hal ini sangat beresiko siapapun yang berjalan bercampur dengan arus lalu lintas kendaraan bermotor.
Hak pejalan kaki adalah bagian tak terpisahkan dari sistem transportasi yang adil dan beradab. Namun, di banyak kota besar di Indonesia, hak ini justru semakin terpinggirkan.
Fasilitas publik seperti trotoar dan zebra cross yang seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman bagi pejalan kaki tetapi telah berubah fungsi seperti menjadi lapak pedagang kaki lima, lahan parkir kendaraan bermotor, bahkan tempat pembuangan sampah.