Mendengar kata 'geng sekolah', pikiranku melayang di 15 tahun lalu. Ya, waktu itu duduk di sekolah menengah atas (SMA). SMA adalah zaman dimana anak-anak beranjak dewasa. Rata-rata ingin menunjukkan inilah saya.
Jadi, sekolah itu tidak melulu menjadi dimana proses belajar-mengajar terjadi. Bahkan dapat dikatakan bahwa belajar-mengajar hanya sebagian aktivitas di dalamnya. Sisanya, waktu dihabiskan mengekspresikan diri.
Hari ini kita tidak sedang bicara tentang pelajaran sekolah. Tidak pula bicara tentang guru-guru. Apalagi cewek-cewek cantik dengan rok abu-abu. Bukan pula cinta-cintaan yang marak waktu itu.
Nah, pengalaman ini mungkin belum di dapatkan kamu yang baru masuk SMA. Kasihan, sudah jalan 2 tahun belajar dari rumah. Tapi tidak apa-apa, semoga pandemi cepat berlalu dan kamu bisa menjadi seorang anak SMA yang utuh.
Zaman saya SMA dulu, sedikit belajar sisa sembarang saja. Jadi, saya juga tidak percaya kalau kemudian masuk universitas favorit.
Umumnya anak-anak remaja senang membentuk kelompok bermain. Macam-macam pula pola. Ada kelompok anak-anak orang kaya y, ada kelompok anak-anak cantik, ada kelompok anak-anak nakal yang hobi tawuran (biasanya bodoh pula) dan lain-lain.
Saya rada tidak sepakat dengan definsi Geng yang dirilis KBBI yakni (1) Â kelompok remaja (yang terkenal karena kesamaan latar belakang sosial, sekolah, daerah, dsb); (2) gerombolan
Kalau kita buka-bukaan. Kelompok-kelompok model ini (kurang pas kalau disebut  geng) karena tidak ada jiwa defenisinya. Paling tidak anak-anak remaja yang masuk "geng" biasanya kesenangannya caper. Senang kelewataan dari garis aturan. Kalau ditindak keluar cengengnya, ya, nangis, ya, ngambek. Namanya juga anak muda.
Kita tidak mungkin menyebut geng kepada kelompok belajar, kelompok anak rohani, kelompok pramuka, dan lain-lain. Geng itu memang ada "soul"nya untuk berontak.
Tapi, di luar soal-soal remeh temeh itu. Ada beberapa catatan saya, pengalaman pribadi, tentang bagaimana sebuah kelompok bermain mempengaruhi anak-anak. Saling bertindih-tindihan antara masalah pribadi dan bersama.
Saya ingat betul ketika saya duduk di kelas 2 SMA, 2 IPS1. Tepatnya di salah satu SMA di Tarutung. Mungkin karena memang cocok atau apa, kami membentuk Geng Sekolah. Namanya Geng Coba. Anggotanya 7 orang (sekarang semua sudah jadi bapak-bapak muda). Tentu dengan malu saya menyebut diri saya sebagai ketuanya.