Tulisan ini muncul dari pengamatan saya terhadap pola-pola tertentu yang menarik untuk digali dalam konteks literasi publik. Sebelum masuk ke pokok bahasan, izinkan saya memperkenalkan diri secara singkat, agar pembaca mengetahui dari perspektif mana saya menulis.
Saya adalah pensiunan karyawan swasta dengan latar belakang teknik. Sebagian besar karier saya dihabiskan di sektor manufaktur, khususnya produk konsumsi. Walau bukan teknisi produk, saya bekerja di bagian pengadaan (procurement), yang menuntut pemahaman akan aspek teknis produk maupun logistik komponennya.
Secara sistem, saya harus memastikan pengiriman tepat waktu, mutu terjaga, dan harga sesuai target. Dari sisi manajerial, saya berkoordinasi lintas individu, tim, dan departemen agar sistem berjalan baik. Dengan kata lain, saya belajar tentang "hardware" (produk) sekaligus "software" (sistem dan manusia). Tanpa saya sadari, ini membentuk cara berpikir yang menyeluruh---selalu mempertimbangkan yang tampak dan yang tak tampak.
Semua itu saya pelajari sebagian besar secara otodidak, terutama hal-hal manajerial dan sistemik, karena pendidikan formal saya fokus pada aspek teknis. Bisa dikatakan, saya membangun literasi---pemahaman tentang sistem dan manusia di dalamnya---secara mandiri. Dari sana, saya menemukan bukan hanya pengetahuan praktis, tetapi juga kedalaman pemahaman.
Setelah pensiun, saya sempat bingung akan melakukan apa, hingga kemudian saya diajak bergabung dengan sebuah pusat kajian keberlanjutan. Di sana, saya kembali belajar---kali ini tentang transdisiplinaritas sebagai fondasi keberlanjutan. Proses belajar ini menginspirasi saya untuk ikut mendukung inisiatif podcast yang sedang dikembangkan oleh lembaga tersebut sebagai ruang dialog lintas disiplin untuk membangun literasi publik.
Dari keterlibatan ini, saya mulai melihat bahwa pendekatan reduksionistik yang dominan dalam pendidikan formal telah menciptakan sekat-sekat disiplin. Orang cenderung merasa nyaman berdiskusi dalam lingkungan se-disiplin, tetapi dialog lintas disiplin masih sangat jarang. Akibatnya, persoalan dunia nyata sering kali dilihat hanya dari satu kacamata, atau dibahas dari berbagai sudut tetapi tetap dalam kerangka berpikir dominan yang sama. Ini sering berujung pada solusi tambal-sulam, bahkan menimbulkan persoalan baru.
Saya cukup sering mengalami ini saat mengajak orang untuk bergabung dalam percakapan podcast. Tanggapan yang muncul antara lain:
"Ah, saya bukan ahli."
"Bidang saya berbeda."
"Saya orang awam, tidak tahu apa-apa."
Dari sana saya mulai bertanya: Apakah proses membangun literasi harus selalu dimulai dari yang "berpendidikan" secara formal? Apakah pengetahuan hanya sah jika diperoleh lewat jalur pendidikan formal? Tidakkah eksplorasi bersama atas pengetahuan---yang dimulai dari titik tidak tahu---justru merupakan proses yang paling penting dalam membangun literasi sejati?
Lalu kapan orang merasa terdorong untuk menjelajahi pengetahuan di luar pendidikan formal? Mungkin kita merasa terkurung oleh batas antara pengetahuan formal dan non-formal. Seolah-olah pengetahuan di luar sekolah selalu lebih rendah nilainya. Apakah kita terkurung oleh cara pandang ini? Ataukah kita memang dibelenggu oleh sistem yang menjadikannya demikian? Atau---lebih jauh lagi---kita sendirilah yang mengurung diri?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI