Mohon tunggu...
Eka Dharmayudha
Eka Dharmayudha Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional UI

Menyukai politik, sepakbola, dan menulis puisi. Kenal lebih dekat melalui instagram saya @ekadharmayudha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ruwetnya Mencari Arti Cinta

2 Mei 2020   09:59 Diperbarui: 2 Mei 2020   10:33 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta itu seperti aku melihat senyummu malam itu, lalu terbangun dari semua mimpi indah tentang memilikimu.

Cinta, cinta, cinta. Sebuah kata yang menurut orang-orang yang merasakannya adalah sebuah anugerah terindah dari sang pencipta. Yang lain menyebutnya sebagai reaksi kimia tubuh manusia. Sisanya menyebut sebagai awal sebuah kesakitan. Tak pernah ada kesepakatan bersama diantara manusia-manusia di dunia mengenai cinta. 

Mungkin sama seperti mahasiswa fakultas hukum mencoba mendefinisikan istilah hukum. Mereka baru bisa mendapatkan kesepakatan bersama ketika dosennya memerintahkan untuk menggunakan istilah seorang ahli tertentu yang dianggapnya paling mendekati kebenaran. Atau dosen tersebut sebenarnya cuma malas saja meladeni pemikiran mahasiswanya? 

Jika memang begitu, adakah seseorang di luar sana yang bisa memaksakan satu definisi mengenai cinta? Kalaupun ada, penulis berharap ia adalah seorang menteri dari negara Republik Indonesia yang memiliki talenta untuk menjadi menteri semua urusan rakyat dan negara.

Mari coba kita melihat roh yang menuntun kehidupan bangsa ini. Jika kita perhatikan bersama, roh tersebut sebenarnya adalah cinta yang paling sejati. Sungguh ironi memang sebuah kesepakatan politik bisa menghasilkan cinta paling sejati. Tapi faktanya demikian. 

Kita bisa melihat hubungan yang tak terpisahkan antara religiusitas dan kemanusiaan, antara persatuan dan demokrasi, antara demokrasi dan kesejahteraan. Lima hal itu membimbing manusia bangsa Indonesia hidup dengan penuh keramahan dan tentu saja, penuh cinta. 

Tapi ada pertanyaan baru muncul. Menyebalkan bukan? Ya penulis memang kalau sudah tidak punya bahan menulis pasti banyak bertanya, tapi bukankah itu artinya kita bisa lebih saling mengenal? Toh cinta juga sebelum dia bisa disebut sebagai cinta, harus melewati fase perkenalan yang membosankan. 

Kembali lagi ke pertanyaan tadi. Ya, muncul lah sebuah pertanyaan, apakah cinta sejati itu masih ada? Jika roh bangsa ini adalah cinta sejati, maka sebenarnya cinta sejati itu sudah tidak ada? Mungkin para pembaca bisa menjawabnya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Cinta itu seperti permainan judi. Hasil yang diinginkan dari usaha mendapatkannya kadang tidak berbanding lurus dengan seberapa besar pengorbanan yang diberikan.

Kapitalisme menjadi kata yang sedang terkenal akhir-akhir ini. Ya walau pada abad 19 pertama kali kata ini diperkenalkan ke dunia, namun sepertinya akhir-akhir ini sedang kembali naik. Bukan karena ia dipuja sebagai sebuah pahlawan, melainkan karena sedang diantarkan menuju kematiannya. 

Sebentar, mudah-mudahan ini tidak seperti konspirasi ala-ala seorang dokter dan musisi yang rame di jagat media sosial kemarin itu, tapi mudah-mudahan bisa membuat heboh yang sama. Iya mati. Virus ini membunuh kapitalisme. Jahat memang, tapi bukankah itu hal yang baik yang akan kita dengar bila itu adalah kenyataannya?

Bagi seorang jomblo yang baru saja ditinggal kekasihnya karena tidak direstui oleh orangtua pasangannya, kematian kapitalisme tentu adalah kemenangan setelah rasa sakitnya. Contoh di atas hanyalah salah satu contoh bahwa sebenarnya matinya kapitalisme akan terasa menyenangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun