Mohon tunggu...
Egia Astuti Mardani
Egia Astuti Mardani Mohon Tunggu... Guru - Pejalan

Pendidik yang Tertarik pada Problematika Ummat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Antara Dua Kutub Ekstrem: Ekstremis dan Moderat

14 April 2021   11:25 Diperbarui: 14 April 2021   11:38 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Huru-hara isu terorisme memang sempat mengudara sebelum akhirnya tertelan viralnya pernikahan influencer yang dihadiri kepala negara. Meskipun demikian, isu ini tetap saja menarik untuk dikaji dan dikulik. Setidaknya narasi kontra terorisme --yang kemudian dihubungkan dengan radikalisme- semakin mendapakan tempat dan tidak kehilangan urgensitasnya. Tagar-tagar yang mengarah pada pemberantasan terorisme dan radikalisme dari akar-akarnya digaungkan dan beberapa kali menguasai trending media sosial. Tulisan ini tidak akan membahas teori konspirasi di balik aksi terorisme, tetapi narasi yang bergulir dan dampaknya pasca kejadian ini.

Terlepas dari berbagai teori konspirasi di belakangnya, aksi terorisme kemarin cukup membangkitkan opini kewaspadaan terhadap kelompok tertentu. Berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh kepolisian, aksi ini mengarah kepada kelompok yang mengatasnamakan Islam dan ajaran Islam. Media pun berbondong-bondong menggoreng temuan ini. Dampaknya adalah citra teroris menjadi semakin melekat dengan kaum muslim dan ajaran Islam. Sebanyak apapun pihak yang menyebut bahwa terorisme tidak mempunyai agama, tetap saja apabila terjadi aksi semacam ini muslim lah yang pertama kali dicurigai. Ajaran 'jihad' pun tak luput dicurigai dan dicitrakan sebagai pendorong aksi semacam ini.

Pada dasarnya, Islam tidak pernah membenarkan aksi terorisme. Selain itu, Ustadz Yuana Rian Tresna dalam sebuah wawancara menyebutkan bahwa aksi terorisme sama sekali tidak menguntungkan kaum muslim, justru mencitraburukkan Islam dan perjuangan penegakan syariat Islam. Dengan demikian, apabila ada satu kelompok yang mengatasnamakan Islam dan menganggap aksi teror merupakan bagian dari dakwah Islam maka pandangan kelompok tersebut sepenuhnya keliru dan merugikan.

Bahkan, keberadaan kelompok ini semakin menjadi momentum 'War On Terrorism' yang digawangi oleh AS dalam rangka 'mendistorsi' Islam dan kaum muslim. Istilah 'Islam radikal' pun dimunculkan sebagai bibit terorisme yang ditakutkan akan meledak sewaktu-waktu, seperti bom gereja di Makassar maupun aksi teror di mabes Polri beberapa waktu lalu. Berbagai studi akhirnya merumuskan bahwa radikalisme berawal pemahaman Islam yang intoleran serta semangat penegakan syariat Islam. Jelas, narasi ini jelas merugikan kelompok Islam yang lurus dan berupaya memperjuangkan tegaknya syariat Islam tanpa kekerasan. 

Seolah muncul di saat yang tepat, narasi 'Islam moderat' terbit sebagai oposisi dari 'Islam radikal'. Seperti yang sudah-sudah, pasca kejadian teror yang mengatasnamakan Islam, narasi Islam moderat kembali diaktifkan. Islam moderat mencitrakan Islam yang toleran dan inklusif dengan perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Ia dicitrakan sebagai Islam yang ramah dan santun serta jauh dari kesan kekerasan.

Pernyataan 'Islam agama damai' juga doserukan seolah menjawab tuduhan citra kekerasan pada umat Islam. Sekalipun ada betulnya, fatalnya pernyataan ini akhirnya juga mendistrorsi ajaran Islam berupa jihad dan qital. Meskipun Islam tidak mengakui terorisme, bukan berarti Islam meniadakan kewajiban qital (memerangi orang kafir) dalam rangka berjihad. Aktivitas qital dan jihad dilakukan untuk menghilangkan rintangan fisik apabila di suatu wilayah dakwah Islam di-blokade. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw dan para sahabat ketika hendak menaklukkan wilayah-wilayah tertentu. Artinya, ajaran jihad dan qital tetap ada dalam Islam, tetapi dengan catatan tertentu dan tidak boleh dipahami serampangan.

Narasi 'Islam moderat' semakin ambigu ketika dihubungkan dengan sikap inklusif terhadap pemikiran di luar Islam. Tak jarang para penyeru Islam moderat meneriakkan toleransi yang keblabasan. Masuk ke gereja dan bernyanyi atau beribadah bersama, misalnya. Aktivitas ini jelas dilarang oleh agama karena batas toleransi dengan non-muslim adalah sebatas masalah dunia, bukan masalah agama atau akidah. Hal ini pada akhirnya mengaburkan Islam sebagai satu-satunya din yang diakui oleh Sang Pencipta. Bahkan mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar saja bisa dicap intoleran. Masih ingat tepuk 'anak shalih' yang dianggap mengajarkan jargon intoleran kepada anak-anak?  

Dari penjelasan di atas, terdapat satu benang merah yang bisa kita pahami, yakni saat ini kita dihadapkan pada dua kutub muslim yang begitu ekstrem dalam menafsirkan Islam sehingga menghalalkan aksi terorisme serta narasi 'Islam moderat' yang justru begitu rentan dimasuki pemikiran-pemikiran di luar Islam. Dua pemikiran ini akhirnya memiliki persamaan, yakni mendistorsi ajaran Islam yang lurus serta mengkriminalisasi para pejuang penegakan syariat Islam yang berdakwah tanpa kekerasan mengikuti jalan yang dicontohkan Rasulullah saw. Pertanyaannya, mengapa kelompok-kelompok ini ada? Bagaimana seharusnya kita mengambil sikap?

Seorang mujtahid mutlak lulusan al-Azhar, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, telah mengindra kemunduran berpikir kaum muslim sebagai penyebab kemunduran kaum muslim. Segala yang buram berawal dari ketidakpahaman. Kondisi ini telah terindikasi sejak masa akhir kejayaan Islam beberapa abad yang lalu ketika kaum muslim lambat laun meninggalkan budaya ilmu dan ijtihad (penggalian hukum Islam atas masalah-masalah kontemporer). Kemunduran berpikir ini -salah satunya- meniscayakan kebingungan di tengah umat dalam menyikapi berbagai kemajuan jaman termasuk pengaruh Barat yang saat itu menguat karena sekularismenya. Ada umat yang ekstrem menolak mentah-mentah produk Barat, ada juga yang menerima dengan tangan terbuka tanpa filter yang jelas. Manakah kelompok yang benar?

Tidak ada.

Barat dengan segala kemajuannya saat itu -sampai sekarang- memang memiliki produk yang tidak bisa dipungkiri berpengaruh besar terhadap tatanan dunia. Revolusi industri meniscayakan lahirnya penemuan-penemuan berupa teknologi canggih yang hingga kini dimanfaatkan oleh manusia seluruh dunia. Namun perlu kita sadari bahwa produk Barat terbagi menjadi dua, yakni produk fisik dan produk nonfisik. Produk fisik sudah pasti dapat diindra oleh mata dan dimanfaatkan secara langsung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun